Jakarta adalah kota proyek. Jika berjalan mengelilingi kota ini, hampir di setiap wilayah kita menemui pengerjaan proyek. Yang teranyar, untuk pembersihan kolam Bundaran HI saja, Pemda DKI Jakarta menghabiskan dana sebanyak 2,7 Milyar. Pemerintah DKI Jakarta dinilai lebih mengutamakan kepentingan bisnis ketimbang melakukan perubahan yang strategis dan pro kepentingan publik.
[caption id="attachment_159926" align="alignnone" width="640" caption="Kolam Bundaran HI ditutupi ketika dilakukan proyek pembersihan pada kolam tersebut. Dana yang dihabiskan mencapai Rp 2,7 milyar (Photo Copyrights: Titah Hari Prabowo/satuJakarta) "][/caption]
Garapan terbaru pemerintah Jakarta yang berbau proyek adalah pembangunan enam ruas jalan tol di Ibu Kota. Pembangunan jalan tol ini akan menambah prosentase jalan berbayar di Jakarta menjadi 10% dari panjang keseluruhan jalan. Pengakuan pemerintah DKI Jakarta, jalan berbayar sepanjang hampir 70 km adalah untuk mengurai masalah kemacetan. Namun jika melihat nilai anggaran yang dihabiskan, yaitu sebesar 40 triliun rupiah, dikatakan oleh beberapa pakar, jauh lebih tepat dialokasikan untuk pembenahan dan pengintegrasian sistem transportasi publik sehingga sekaligus akan mengurangi kebutuhan jalan raya yang dilewati oleh kendaraan bermotor.
“Kita melihat (proyek.-red) pembangunan jalan yang sekarang ini, lebih banyak melayani kepentingan bisnis” tutur Yayat Supriyatna, ahli tata kota dari Universitas Trisakti. Menurutnya, pengerjaan jalan, baik tol maupun non-tol bukan merupakan solusi tepat untuk memecahkan masalah lalu lintas.
Hal yang senada diungkapkan Andrinof Chaniago, pakar kebijakan publik UI, yang berpendapat telah terjadi kesalahan paradigma pemerintah terhadap pemecahan masalah-masalah Jakarta. Menurut Andrinof, paradigma kebijakan yang dianut Pemda DKI Jakarta selama ini berbasis parsial sektoral, sehingga ide yang kerap muncul adalah mengatasi persoalan secara teknis, secara proyek. “Kadang-kadang mereka keliru ketika meniru proyek dari negara lain. Yang ditiru adalah proyek dan bisnisnya, bukan kebijakannya.” tukasnya.
Banyaknya proyek di Jakarta bisa dipahami. Memiliki anggaran lebih dari 30 Triliun per-tahun, dan terus naik setiap tahunnya, DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah APBD terbanyak di Indonesia. Jumlah ini bahkan melebihi anggaran Kementrian Dalam Negeri yang hanya berjumlah belasan triliun saja.
Namun banyaknya anggaran ini belum sebanding dengan kualitas pelayanan. “Misalnya, tiap Puskesmas menerima 1,2 Miliar per tahun, itu berarti 100 juta per bulan. Tapi pelayanannya masih standar saja”, tutur Andrinof.
Tidak sebandingnya pelayanan dengan anggaran tersebut membuat sejumlah kalangan menengarai ada yang tidak beres dengan anggaran di DKI Jakarta. Namun, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko belum banyak kasus yang muncul dari wilayah DKI Jakarta.
Minimnya kasus ini, menurut Danang, bukan berarti jaminan bahwa pemerintahan berjalan bersih. “Bisa saja sebaliknya, korupsinya sangat luar biasa, sampai orang-orang di luar sistem itu juga mendapat ‘bagian’, jelasnya. “Transparancy International dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi,-red) tahu ada yang tidak beres dengan Jakarta. Sayangnya, tidak banyak kasus korupsi yang terungkap.” Tutup Danang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H