Lihat ke Halaman Asli

Si Penjelajah Dunia

Regional Manager

Harmonisnya Perpaduan Agama Samawi di Kota Tunis

Diperbarui: 7 Februari 2017   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sopir Taksi yang luar biasa yang mengantarkan saya dan teman-teman berkeliling Kota Tunis

Kisah ini dimulai pada tanggal 17 Desember 2010 di perdesaan bernama Sidi Bouzid, Tunisia. Mohamed Bouazizi berusia 26 tahun sedang bersiap-siap untuk menjual buah-buahan dan sayuran di kota itu. Setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung saat ia berumur 10 tahun, Bouazizi otomatis menjadi ujung tombak keluarganya, apalagi paman Bouazizi yang dinikahi ibunya kemudian sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja.

Bouazizi harus mencukupi kebutuhan ibu dan enam saudara kandungnya. Bouazizi tidak pernah lulus dari universitas meskipun pendidikan tinggi merupakan salah satu impian bagi dirinya dan saudara-saudaranya. Bouazizi semenjak umur 10 tahun harus bekerja serabutan dan di masa remaja, ia harus merelakan impian untuk ke pendidikan tinggi agar bisa bekerja penuh waktu.

Kota Sidi Bouzid adalah kota dengan tingkat korupsi dan pengangguran tinggi di Tunisia. Setiap hari, Bouazizi harus menempuh 20 menit jalan kaki ke pusat Kota Sidi Bouzid untuk berjualan buah dan sayur agar ia bisa menghidupi ibu, paman adik-adiknya serta seorang kakak yang sedang menyelesaikan pendidikan di universitas.

Salah satu sudut Kota Tunis

Bouazizi menjual sayuran dan buah-buahan di atas gerobak yang ia buat sendiri. Meski demikian, Bouazizi tidak mempunyai izin dari pemerintah setempat untuk berjualan. Suatu ketika polisi ingin menyita gerobak dagangannya, akan tetapi Bouazizi menolak menyerahkannya karena ini adalah satu-satunya penghidupan yang bisa ia gunakan untuk keluarganya. Bouazizi menolak dan melawan perlakuan polisi tersebut sampai ia akhirnya ditampar oleh seorang polisi.

Marah dan kecewa atau perlakuan yang ia terima dari penguasa setempat, Bouazizi kemudian menuju gedung pemerintahan. Di depan gedung itu ia berbaring dan membakar diri sebagai bentuk protes atas perlakuan yang diterima dari penguasa setempat.

Tindakan putus asa yang ia lakukan akhirnya bergaung. Dari Kota Sidi Bouzid itulah protes kemudian menjalar sampai ke seluruh negeri. Lewat internet yang disebar di media sosial, protes bermunculan di kota-kota Tunisia. Protes itu berakibat mundurnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang kemudian melarikan diri keluar dari Tunisia.

Dokumen pribadi

Dimulai dari sosok Mohamed Bouazizi di Kota Sidi Bouzid, protes ini kemudian menyebar ke Timur Tengah dan dikenal sebagai Arab Spring. 

Arab Spring atau yang dikenal sebagai demokrasi musim semi merupakan gelombang revolusioner baik dengan demontrasi kekerasan maupun tanpa kekerasan. Arab Spring juga menandai dimulainya gelombang protes, kerusuhan, kudeta dan perang sipil di Dunia Arab.

Beberapa negara yang terkena gelombang Arab Spring adalah; Tunisia dengan tumbangnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang berkuasa hampir 24 tahun. Mesir melengserkan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun. Libya dengan berakhirnya kekuasaan Moammar Gadhafi selama 42 tahun. Negara lain yang sampai saat ini masih mengalami perang sipil yaitu Suriah dan Yaman.

Protes juga terjadi di beberapa negara seperti Algeria, Irak, Jordania, Kuwait, Maroko dan Oman.

dsc00819-589983e93f23bdab1b97da6b.jpg

Para demonstran menyerukan untuk menurunkan Rezim yang berkuasa saat itu. Ada yang berhasil seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir dan Libya meski harus berdarah-darah. Ada juga yang mendapat reaksi keras dari pihak penguasa seperti perang sipil yang terjadi di Suriah sampai hari ini. Meski revolusi awal dan demontrasi memudar di tahun 2012, akan tetapi beberapa negara masih berdarah-darah.

Pada bulan Agustus 2011 setelah pecahnya perang saudara di Suriah, pemimpin Negara Islam Abu Bakr al-Baghdadi mendelegasikan misi ke Suriah dengan nama Jabhat an-Nuṣrah li-Ahli ash-Shām atau dikenal sebagai Front al-Nusra. Abu Bakr al-Baghdadi kemudian menggabungkan Front al-Nusrah dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Perang sipil di Suriah dan Irak serta pergolakan yang terjadi di timur tengah dan sebagian negara di Afrika Utara membawa perubahan bagi dunia. Gelombang imigran yang membanjiri Eropa membawa rasa tidak nyaman bagi penduduk Eropa yang bertahun-tahun merasakan kenyamanan di negaranya.

dsc00839-589983fb337b61871182b156.jpg

Gelombang teror juga ikut menghantui gerak-gerik penduduk Eropa ditambah rasa tidak suka dengan agama islam yang dipandang radikal dan konservatif. Tentu stigma ketidaksukaan, yang tidak mempunyai alasan logis, terhadap agama islam sudah dipupuk oleh media bahkan pemerintah barat semenjak serangan 911 terhadap gedung World Trade Center di New York yang kala itu langsung merilis foto-foto pelaku yang seluruhnya berwajah arab.

Imigran yang kabur dari negara-negara konflik di Timur Tengah menuju Eropa juga membawa budaya dan ideologinya masing-masing yang membuat orang lokal tidak nyaman. Salah satunya gelombang pelecehan seksual di Jerman dan berbagai teror berdarah di Perancis, Belgia dan Jerman. Orang Eropa kemudian tidak lagi berpikir rasional, mereka kemudian menjadi emosional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline