Lihat ke Halaman Asli

The Miracle of Faschel: Lebih Bagus dari Harry Potter

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Chapter 1. Rhea Zeph

Sepasang mata berwarna ungu terang mengintai dari balik celah pintu yang terbuka sedikit. Mata itu memeriksa keadaan koridor dengan teliti sebelum akhirnya si pemilik mata itu keluar dengan sangat hati-hati. Pintu kayu setinggi dua puluh meter itu bergerak pelan membuka. Pintu itu tampak sangat kokoh dengan ukiran kelelawar dan beberapa benda seperti panah. Rhea kembali menutup pintu dengan sangat perlahan. Ia memeriksa koridor sekali lagi. Tak ada siapapun, aman. Ia mengembangkan sayapnya dan terbang setinggi lima meter dari lantai marmer yang hitam dan dingin. Suara kepakan sayapnya terdengar lembut di sepanjang koridor.

Rambutnya yang kecoklatan tampak berkilau memantulkan cahaya lilin yang diletakkan satu-satu di atas tiang lilin yang terbuat dari perak dan berukiran bunga lili putih. Di ujung koridor ia berbelok ke kiri. Ia menuruni tangga batu yang sempit dan curam. Tak ada lagi lilin-lilin di tembok. Semua gelap. Ia nyaris tidak dapat melihat apapun. Tapi itu tidak lama. Di ujung tangga tampak dua buah tiang lilin dengan lilin yang bersinar redup mengapit sebuah pintu besi. Ia menahan nafasnya dan terbang mendekati pintu besi itu. Ia sangat khawatir bila penjaga memergokinya. Ia mengeluarkan sebuah kunci dari balik gaun putihnya dan memasukkan dengan sangat perlahan ke lubang kunci dengan sangat hati-hati. Ia memutar kunci itu pelan-pelan. Pintu besi yang ada di hadapannya perlahan terbuka. Seberkas cahaya remang-remang memancar dari dalam ruangan di balik pintu itu dan bercampur dengan cahaya lilin di samping pintu. Ia masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu.

Ruangan yang ia masuki hanya berisi sebuah tiang lilin di sudut ruangan yang hanya menerangi sedikit bagian ruangan itu. Hawa dingin segera terasa menusuk tulang. Sesosok tubuh tampak duduk bersandar tepat di bawah tiang lilin. Rhea mendarat tepat di hadapan sosok itu.

"Daphrio... ini aku. Rhea," si Rhea berbisik. Ia duduk dan memegang bahu sosok itu. Sosok itu bergerak pelan. Matanya membuka. Sinar lilin yang tidak begitu terang membuat wajahnya tampak begitu pucat.

"Rhea...." Sosok itu mencoba untuk berbicara, tapi yang terdengar hanya desisan pelan. "Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Rhea tidak menjawab. Dia langsung mendekati Daph dan memegang besi yang mengikat tangan dan kaki Daph. Rhea menekan sedikit besi itu dan besi itu pun hancur jadi debu.

"Daph, kita harus pergi dari sini. Kita harus pergi...."

Rhea mengusap rambut hitam pekat Daphrio dengan sayang. Daphrio menatap Rhea.

"Tidak ada gunanya, Rhea.... Istana ini dijaga ketat. Kita bisa tertangkap," ujar Daphrio. Ia menghembuskan napas berat.

"Tapi mereka akan membunuhmu!" Rhea setengah berteriak. "Mereka akan membunuhmu...." Namun kemudian suaranya menjadi tercekat.

Daphrio terdiam. Ia menatap lantai marmer hitam yang dingin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline