Lihat ke Halaman Asli

Ketika Keikhlasan Datang

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wajah Meta kali ini tidak sumringah, ada hal yang membuat ia menjadi suntuk tapi tak mungkin Meta mau menceritakan masalahnya karena ia anak yang begitu tertutup. Ia hanya menunduk sedih di atas meja, sorot matanya kosong, sesekali kepalanya tertelungkup di atas meja. Dari geraknya terlihat masalah begitu pelik seolah ia tak sanggup untuk menghadapi. Kejadian ini telah berlangsung seminggu, aku tak mungkin membiarkan kesedihan mendera dirinya sendiri.

“Meta, ketika istirahat ke ruang BK ya,” perintahku ketika bunyi bel telah mengakhiri pelajaran.

“Ya Bu,” dengan malas Meta hanya mendesah kecil tak bergairah.Ia berusaha untuk taat pada perintah gurunya walau bathinnya mungkin sedang tidak mood.

Lima menit telah berlalu ketika bel istirahat berbunyi, Meta belum terlihat batang hidungnya. Aku menanti dengan gelisah di ruangan sambil memeriksa pekerjaan anak-anak yang baru saja mengerjakan tugas Matematika dari modul. Bukan hanya seorang guru matematika tapi aku juga sebetulnya seorang guru BK sehingga pekerjaan yang harus kukerjakan bukan hanya memeriksa pekerjaan siswa tapi juga menyelesaikan masalah dari siswaku yang bermasalah. Pekerjaan ini sama sekali tak menyenangkan untukku karena menjadi guru bukan pilihanku. Tapi itu lima tahun yang lalu, kini aku mulai ingin menyukai pekerjaan ini.

“Assalamualaikum,” salam yang keluar dari mulutnya yang kelu sampai tak terdengar olehku.

“Ibu, Assalamualaikum,” ulangnya. Aku tersentak kaget, kue yang sedianya hendak aku makan, terjatuh di atas meja.

“Walaikum salam,” sapaku.

“Duduk, Meta,” lanjutku sambil membersihkan remah-remah yang berjatuhan di atas meja.

“Ada apa Ibu memanggil saya?” tanya Meta heran.

“Sudah satu minggu ini Ibu melihat ada perubahan sikap dari diri kamu. Biasanya kamu ceria, energik, kok satu minggu ini Ibu perhatikan sering melamun, tak bergairah, kelihatannya kamu punya masalah yang begitu pelik, kalau kamu ingin mengurangi beban dan percaya dengan ibu, mau mengungkapkan masalah kamu?”Meta hanya tetunduk lemah di kursi ketika aku menawarkan empatiku sebagai seorang guru BK, butiran air mata yang telah ditahannya agar tak keluar dari pelupuk mata akhirnya jatuh satu-satu menggenangi pipinya yang putih bak pualam. Aku langsung memberi tissu yang kuambil dari dalam tas. Meta menerimanya dengan masih menundukan kepala. Ia berusaha untuk tabah tapibathinnya tak kuat untuk menahan emosi. Air mata yang tadi satu-satu keluar dari pelupuk mata kini semakin deras mengalir walau tak terdengar isak.

“Jika kesedihan ini bisa mengurangi beban derita yang sedang kamu tanggung, menangislah.” Dan meledaklah tangis Meta setelah kalimat itu keluar dari mulutku. Kuelus bahunya agar ia merasakan perhatian dan cinta. Meta mendekap pinggulku, ia tak malu mengungkapkan kesedihannya walau belum ada keterus terangan tentang masalah yang sedang menderanya.

“Bagaimana sudah merasa lebih tenang?” Meta hanya mengangguk membenarkan.

“Bisa Meta ceritakan sekarang masalahnya pada Ibu?”

“Tapi Ibu janji ya, untuk tidak mengatakan masalah ini pada siapapun?!”

“Ibu janji !!” jawabku tegas. Meta mulai menyusun nafas dan menggeser bangku yang di dudukinya agar lebih dekat denganku.

“Tepatnya hari Minggu kemarin, saya mendengar Ibu bertengkar hebat dengan Ayah. Saya sendiri tidak tahu apa yang dipermasalahkan. Yang saya dengar ibu mengancam ingin bercerai dengan ayah. Saya sedih sekali mendengarnya ( sambil mengusap air mata, Meta meneruskan ceritanya). Besoknya, ketika ayah berangkat kerja diperjalanan, ayah menabrak seorang anak yang sedang menyebrang jalan sehingga anak itu tewas seketika. Berita ini diketahui kami sore hari setelah ayah ditahan di kantor kepolisian Tangerang. Ibu begitu shock mendengarnya, tiba-tiba tangan kirinya tak bisa digerakan dan pipi kirinyapun langsung naik keatas sehingga mulut ibu jadi miring ke kiri. Saya merasa penderitaan saya begitu lengkap, sehingga saya merasa tak bergairah untuk hidup Bu,” sambil terisak Meta menceritakan penderitaan yang kini menghantuinya. Aku terduduk lemas mendengar cerita Meta. Anak ini memang sedang mengalami cobaan hidup yang demikian pelik. Pantas saja bila ia tak bisa ceria seperti dulu lagi.

“Ibu turut prihatin dengan masalah yang kamu hadapi.Pantas saja jika kamu begitu bersedih. Semoga kamu kuat menghadapi masalah ini. Tiap manusia pasti punya masalah, tergantung kita sendiri apakah masalah yang kita hadapi mau cepat selesai atau tidak. Karena kamu anak yang cerdas, Ibu berharap dalam memecahkan masalah, kamu juga bisa secerdas jika kamu menghadapi masalah pelajaran di sekolah. Bukankah kamu yang paling diandalkan di kelas oleh guru maupun teman jika ada soal yang sulit?! Nah Ibu yakin Allah juga bisa mengandalkanmu untuk memecahkan masalah yang sedang dialami keluargamu,” Hiburku.

“Mau saya, bisa tegar dalam menghadapi masalah yang sedang terjadi, tapi melihat ibu saya shock, saya bingung Bu ingin berbuat apa, rasanya kepala buntu untuk menyelesaikan masalah.”

“Ibu kamu sedang terguncang, kamulah yang bisa menghibur agar ibumu tidak terpuruk. Sadarkan dari sikap keputus asaan. Sakitnya Ibu mungkin hanyarasa bersalah karena merasa punya andil dalam terjadinya kecelakaan ayahmu. Sebaiknya dibawa ke psikolog agar cepat sembuh,” saranku.

“Betul Bu, Ibu juga telah mengatakan rasa bersalahnya, sehingga ayah sampai menabrak orang. Kebetulan Pak Satrio tetangga seorang psikolog, beliau ingin menyembuhkan Ibu dan baru ada jadwal besok, jadi saya ingin mengajak Ibu berobat besok sore ke rumah Pak Satrio.”

“Nah itu salah satu pemecahan masalahkan?! yang penting Meta tidak boleh patah semangat, karena kamulah satu-satunya orang yang bisa membantu Ibu kamu dari keterpurukan.”

“Benar Bu, semoga setelah dari dokter Ibu jadi sembuh jadi saya bisa tegar lagi.”

“Ibu juga ikut berdoa Ibu kamu cepat sembuh dan kamu bisa ceria lagi seperti dahulu,” pintaku.

“Terima kasih ya Bu, telah memberi motivasi pada saya, ternyata sikap tertutup saya pada suatu masalah tidak membuat jalan keluar yang terbaik, untung ibu begitu care pada saya sehingga saya mau menceritakan masalah saya ini.” Kalimat terakhir yang diucapkan Meta membuatku lega. Meta kemudain keluar dari ruanganku karena bel masuk telah berbunyi. Semoga obrolan singkat ini bisa mengubah sikap Meta dengan sikap tertutupnya.

Libur dua hari berlalu, hari Senin merupakan awal mulai beraktifitas mengajar kembali, rasanya telah mengembalikan kesegaran dan rasa kangen pada siswa sehingga aku kini semakin menikmati pekerjaan ini.

“Bu sekarang mengajar di kelas 8 A,” Irfan memperingatkanku yang sedang sibuk mengoreksi tugas matematika anak 7D.

“Lima menit lagi ibu masuk, kamu tugaskan pada teman-teman agar mengumpulkan tugas yang kemarin ya,” perintahku. Irfan mengangguk mengerti dan berlalu kembali ke kelasnya.

Baru sampai di depan kelas, kulihat Meta sedang bercanda dengan Tere teman sebangkunya. Keceriaan Meta telah mengembalikan dia dari keterpurukan menghadapi masalah yang sedang menimpanya. Bathinku lega melihat semua ini, tak sia pembinaan yang kemarin dan darinya aku bisa belajar banyak tentang kecintaanku terhadap tugas mengajar.

“Bu, terima kasih karena saya kini telah bisa menatap hidup ini dengan penuh semangat. Karena Ibu, saya bisa kembali ceria.” Kalimat singkat yang diucapkan Meta dari ketulusan hatinya ketika pelajaran usai, membuatku bangga dengan jati diriku sebagai seorang guru.

“Terimakasih juga Tuhan telah kau pilihkan pekerjaan yang dulu aku ingin siakan. Ternyata kepuasan bathin dan keikhlasan dalam bekerja telah menyemangatiku untuk dapat menolong siswaku yang lain. Aku pun kini telah begitu mencintai siswaku lebih dari yang lain” Amin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline