Lihat ke Halaman Asli

Identitas: Kultural, Transkultural, dan Multikultural

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

IDENTITAS: KULTURAL, TRANSKULTURAL, DAN MULTIKULTURAL

Kita berpikir kalau kita berhubungan dengan para sosiolog; kita salah: mereka adalah entomolog (Jean-Paul Sartre)

Pengantar

Lewat para penganjur multikulturalisme, kita tahu bahwa budaya setiap orang (budaya seseorang yang tidak dipaksakan dari luar) adalah satu prekondisi yang menentukan, dalam mencapai identitas diri otentik. Titik tolaknya adalah: setiap budaya yang pertama atau asli dalam arti singular (di mana seseorang tertanam di dalamnya) adalah sesuatu yang dipaksakan dari luar, mau tak mau, meskipun itu milik sendiri dalam artinya yang tidak ketat, namun dalam kasus-kasus tertentu, kita menjadi sadar bahwa yang kita sebut sebagai milik kita itu bukan hasil sebuah pilihan bebas atau yang diperoleh karena kita bekerja. Konsekuensinya, identitas kita tidak dibangun di atas budaya milik kita dalam arti yang ketat (in-sensu-stricto).

Pertanyaan penting di sini adalah apa hal-hal paling bermanfaat dalam upaya mengembangkan identitas pribadi, selain hubungan antarpribadi? Ada dua (2) konsep yang dipergunakan di sini untuk menunjukkannya. Pertama, transkultural untuk menyebut berbagai usaha dan pergulatan diri berhadapan dengan bermacam ciri tetap karena bentukan alam seperti tubuh maupun lingkungan: berdasarkan pengenalan pribadi dan pengetahuan objektif sejauh dapat diketahui. Kedua, multikultural untuk menyebut pemerkayaan diri melalui para kenalan dan mengembangkan apa yang paling menguntungkan dari semua hasil karya manusia dan kebiasaan dengan mana seseorang berada dalam kontak dengan semua itu.

Perkembangan Konsep

Awalnya budaya dimengerti dalam hubungan dengan dunia pertanian dengan latar belakang religius, lalu secara metaforis dimengerti dalam konteks ide-ide, hasil teknis/kesenian, kekuasaan. Sebagai contoh, budaya pada mulanya memiliki akarnya dalam kultus penyembahan dewa-dewi dengan tujuan menghindari kemurkaan para dewa sekaligus memohon berkat mereka bagi kehidupan masyarakat. Misalnya dalam budaya Yunani dikenal Festival Thesmophoria, di mana masyarakatnya menghidupkan kembali kisah Demeter, Dewi gandum yang menyediakan dasar ekonomi dari peradaban.

Bergerak dari aktivitas-aktivitas yang spesifik pada bidang tertentu, oleh Kant, konsep kultur diperluas menjangkau kegiatan rational secara umum. Ia mendefinisikan kebudayaan sebagai “hasil produksi suatu ada rasional lewat kecerdasannya karena suatu tujuan yang telah dipilihnya sendiri, dengan konsekuensi bahwa bakat itu berkembang dalam kebebasannya”. Sejak kira-kira abad 19, term kultur memiliki makna ganda: yang normatif kalau dilihat pada level individual dan yang deskriptif terkait dengan kelompok tertentu. Yang normatif dapat kita temukan pada penjelasan Matthew Arnold lewat bukunya Culture and Anarchy. Ia mendefenisikan kebudayaan sebagai upaya mencapai kesempurnaan total dengan cara mengenal semua hal yang mungkin menjadi perhatian kita, terutama menyangkut apa yang terbaik yang telah dipikirkan dan dikatakan tentang dunia. Yang normatif menekankan aturan-aturan maupun gugus nilai yang dapat diacu oleh seseorang dalam berperilaku.

Sedangkan yang deskriptif bisa kita temui, misalnya dalam persaingan antara gereja dan Negara Prussia lewat benturan budaya dalam Kulturkampf, atau yang disebut oleh C.P. Snow sebagai persaingan antara yang literer dan yang ilmiah. Artinya, kultur adalah sebuah totalitas yang membentuk sebuah kehidupan sosial yang dibentuk oleh bidang-bidang tertentu. Hal inilah yang mendorong Matthew Arnold untuk menyatakan bahwa disebut barbarian itu bukanlah suku-suku tertinggal yang berada di belahan dunia lain, tetapi para aristokrat Inggris yang dengan kekuasaannya mendikte perkembangan lembaga-lembaga seni dan pendidikan.

Lewat deskripsi-deskripsi etnografi tentang masyarakat, kita tahu bahwa ada hubungan yang erat antara kultus, ideologi, kekuasaan dan praktek hidup yang terbuka, yang di kemudian hari lewat literatur antropologi, budaya lalu didefinisikan sebagai kumpulan kepercayaan, kebiasaan, produk dan ketaatan yang dihadapi dalam kehidupan suatu kelompok tertentu yang secara geografis, bahasa, dan teknologi terpencil dan tertinggal. Pendefinisian semacam ini dapat kita temukan dalam buku Ruth Benedict Patterns of Culture.Dan dalam upaya Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn ditemukan 164 definisi berbeda yang dapat dikelompokkan menjadi enam pengertian pokok mengenai kultur.

Kultur dan Pendidikan: Kurikulum

Terdapat dua elemen kunci multikulturalisme sebagai nilai budaya alternatif dan kegunaannya sebagai sarana identifikasi diri berhadapan dengan kultur dominan yang menindas. Pertama, tidak dapat diragukan lagi,multikulturalisme Indonesiasebagai yang terberi. Kedua, apakah hal itu secara benar berbicara tentang suatu budaya yang dominan atau dengan cara lain, apakah budaya yang dominan memiliki kesatuan dan koherensi yang membuatnya dikenal sebagai budaya yang tunggal. Berkaitan dengan problem identitas, jika bukan kultur dominan yang menyebabkan kekacauan itu, barangkali budaya alternatif tidak akan membantu juga.

Kalau ada sesuatu yang mendominasi, dalam hal ini kultur tertentu, sudah pasti bahwa kelompok minoritas yang tidak terasilimasi di dalamnya secara ekonomi dan sosial pasti dirugikan, dan karena alasan ini, ketika tidak terjadi tindakan rasis, sering terlihat bahwa terdapat hak dari kebudayaan yang berbeda-beda. Tetapi sangat mungkin juga kelompok yang diuntungkan menolak sesuatu yang berbeda, ketika di sana tidak cukup jelas kesamaan pandangan, dan apa yang nampaknya sebagai budaya monolitik dari luar, mungkin penuh dengan variasi dan bahkan kontradiksi di dalamnya.

Oleh karena itu, kita tidak boleh melihat dari satu sudut pandang saja. Dalam kaitannya dengan itu salah satu isu penting yang dapat diangkat di sini adalah tentang kurikulum. Kurikulum telah menjadi medan pertempuran utama multikulturalisme sebagaimana ditulis oleh Arnold Krupat bahwa dalam pendidikan yang disebut multikulturalisme itu tidak lain suatu tata instruksi yang dibuat dan tanpa sadar ada budaya dominan yang menentukan cara kita mendefinisikan “yang lain” dan “yang berbeda”. Kurikulum menentukan pengetahuan seseorang, dari sebab itu, ia harus memberi kemungkinan dalam pelajaran, seseorang tidak hanya terpaku dengan tata instruksi yang telah disiapkan. Kurikulum harus bisa membuat seseorang belajar melampaui apa yang ada dalam buku.

Di sini, kita akan menunjukkan suatu bentuk ketidakrelevanan kurikulum yang mencoba mengartikulasikan pentingnya multikulturalisme di Indonesia. Dalam kritiknya terhadap kurikulum 2013, Mardiatmadja menyatakan bahwa kurikulum 2013 berangkat dari dorongan bagaimana memikirkan keterpaduan bangsa. Namun pada kenyataannya kurikulum kita justru menyiapkan perpecahan bangsa, sebab pengertian ilmu dalam kurikulum itu sangat sempit yang terlihat dalam caranya pemerintah menyerapkan pelajaran IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran lain. Dan meskipun kurikulum tersebut ditolak oleh banyak pihak, tetapi terpaksa diberlakukan atas dasar keputusan presiden menunjukkan suatu bentuk “penyempitan tidak sah dari cara (pemerintah) mendengar dan menjawab dalam ruang publik demokrasi.”

Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa pendidikan yang dirancang sangat menentukan cara kita berhubungan dan caranya kita melihat “yang lain”. Sebagaimana dalam pengalaman orang Amerika, demikian juga kurikulum kita akan sangat menentukan cara berpikir yang memarginalisasi orang lain dengan menggunakan term-term yang sebenarnya dipakai untuk memelihara keragaman. Akan ada perbedaan cara berhubungan antara dua orang yang memiliki persamaan kultur, dan cara berhubungan antara dua orang yang berbeda kultur, kendati mereka memiliki kesukaan yang sama menyangkut klub sepakbola, aliran musik, band tertentu, gaya rambut dan seterusnya.

Ilmu Pengetahuan sebagai Kultur Netral

Menurut penulis ini, identitas yang kita bangun bukan by choise tetapi by implication, itu pun tidak cukup untuk menunjukkan diri kita secara utuh. Pada dasarnya yang paling penting adalah bahwa ada pengakuan akan kesetaraan mengenai nilai-nilai budaya yang berbeda-beda sebagai dasar universal yang dibutuhkan bagi suatu penerimaan tak bersyarat. Di dalam rasa penerimaan itu, terkandung di dalamnya juga afirmasi akan partikularitas setiap etnik yang mengandung potensi nilai universal yang bisa dibagikan kepada orang lain, di mana di dalamnya terkandung bagian esensial dari identitas seseorang. Inilah sikap yang disebut oleh Taylor sebagai “politics of recognition”.Politics of recognitionmemerlihatkan sebuah ekspresi mengenai begitu kompleksnya kebutuhan manusia akan perasaan penerimaan dan dimiliki (sense of belonging), yang seringkali hanya bisa dijawab pada level religious.

Namun menurut Peter Caws sikap ini (politics of recognition) mengandung sisi negatifnya. Bahwa pentingnya melakukan identifikasi kultural, terutama karena marginalisasi rasial sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Amerika, justru secara politik dan ekonomi, menjadi pendukung bagi suatu bentuk marjinalisasi yang lebih buruk. Suatu pengakuan atas partikularitas suatu etnik merupakan tindakan politis yang buruk, dan impian bahwa dengan pengakuan itu terbangun suatu kesatuan kosmik yang lebih baik adalah suatu fantasi saja. Apa alasannya? Menurut Peter Caws pengakuan terhadap suatu etnik, yang berarti kita lebih memikirkan sebuah kelompok etnik ketimbang berpikir tentang individu. Karena itu pengakuan terhadap sebuah kelompok tidak selalu diikuti dengan pengakuan akan individu konkrit dari etnik tersebut, dan dalam politik hanya akan mengangkat individu-individu tertentu saja, yang berarti memelihara patronase kultural, selain bahwa ia menguatkan politik identitas.

Pada sisi lain, kita melihat bahwa Peter Caws juga menerima argument Taylor, bahwa identitas kita berkembang dalam dialog, sering juga dalam perjuangan berhadapan segala sesuatu yang kita artikan dalam hubungan dengan yang lain, yang menghadirkan diri di hadapan kita. Identitas kita selalu bersifat refleksif, yaitu relasi dengan diri kita sendiri (konfrontasi diri). Dan relasi dengan diri sendiri dapat dibangun melalui interaksi dengan yang lain dan dengan dunia kehidupan. Relasi dengan sesama dan dunia merupakan elemen yang sering diabaikan dalam pembicaraan mengenai identitas, karena sering dirusakkan dan dipandang rendah ketika seseorang yang kurang beruntung mencoba menemukan identitasnya lewat identifikasi kultural. Jadi yang mau ditekankan oleh Peter Caws adalah bahwa secara langsung atau kurang derivatif beberapa aspek yang menentukan identitas kita barangkali lahir dari konfrontasi kita dengan dan pengetahuan atas alam dan lingkungan yang lebih luas.

Perasaan kita inilah yang sering diungkapkan oleh para eksistensialis dengan istilah-istilah yang menarik. Kita ingat Heidegger misalnya, menyebut manusia adalah in-der-welt-sein, atau Sartre sampai mengatakan bahwa sesamaku adalah neraka. Buber dan Marcel mengatakan bahwa aku harus ada supaya engkau ada. Bahwa identitas kita tergantung sepenuhnya pada bagaimana kita memberi arti bagi dunia. Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa perkembangan seseorang tidak terlepas dari pola tingkah laku dan situasi di mana dirinya dibanjiri beragam ide, entah itu yang datang dari kulturnya sendiri maupun datang dari kultur lain. Peter Caws menyebutnya sebagai paduan antara beragam pengetahuan: pengetahuan kita secara pribadi dan pengetahuan umum (ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu humaniora), antara common sense dan pengetahuan objektif.

Maka tak dapat diragukan lagi bahwa beberapa hal yang kita hadapi sudah tentu merupakan hasil kultural yang mengatasi perbedaan antarkultur. Di sini, ia menyebut ilmu pengetahuan, yang karena mengatasi perbedaan kultural, ia menyebutnya sebagai kultur netral atau transkultural. Transkultural berarti ia dapat diterima oleh semua orang dari mana saja ia berasal. Ilmu pengetahuan yang berawal sejak zaman dulu dan menjadi sangat cepat berkembang dalam tiga ratus atau empat ratus tahun terakhir menunjukkan bahwa bukan hanya orang dari kultur tertentu saja yang terlibat dalam pengembangannya. Beberapa eksponen postmodernis (bisa ditambahkan para fundamentalis) memandang bahwa ilmu pengetahuan tak mungkin memiliki konvergensi dengan kultur tertentu karena ia hanya bentukkan satu kultur tertentu dan bahkan ada yang merelatifkannya sebagai hanya kultur barat. Tetapi dalam kenyataan tidaklah seperti itu. Sebagai contoh orang hanya perlu berpikir apa isi teori Kopernikus kalau sedang belajar Fisika tanpa perlu tahu siapa dia sebenarnya yang adalah seorang pastor.

Ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan bentuk generalisasi yang lokal. Ilmu pengetahuan pada awalnya merupakan sesuatu yang bersifat lokal, tetapi dari yang lokal itu bisa ditarik hal-hal yang umum, dan ini berarti dalam ilmu pengetahuan kita selalu bersentuhan dengan yang nonlokal. Maka hasil ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki inteligibilitasnya yang dapat dipahami oleh setiap orang dengan latarbelakang budaya yang berbeda. Sehingga kalau berbicara ilmu pengetahuan, yang harus ditekankan adalah menyangkut pemahaman bukan penerimaan/hafalan karena indoktrinasi. Dan karena pemahaman kita selalu terbatas, penting untuk disadari bahwa hal itu tidak menjadi alasan bahwa kita tidak mungkin mencapainya.

Rasio sebagai Basis Multikultural

Sebagai makhluk dimensional, setiap identitas personal dibangun di atas beberapa hal yang berbeda-beda yang menyentuh dimensi yang berbeda-beda. Namun dari argumen mengenai kultur dan pendidikan, secara implisit terkandung asumsi tentang kesamaan dan suatu kelenturan yang bertujuan menyeragamkan setiap orang sehingga rentan mengandung indoktrinasi atau sebaliknya juga indoktrinasi dengan tujuan penyeragaman. Ini mungkin yang menjadi alasan mengapa Sartre dengan jengkel menyebut para sosiolog sebagai entomolog (kelihatan ekstrim ya). Sebab pendidikan dengan tujuan indoktrinasi tidak pernah mampu menyiapkan orang untuk menjadi benar-benar manusia yang bebas.

Multikultural sebagai sebuah kata sifat, menunjuk pada aspek keterbukaan untuk menyambut atau menerima, mengandung inklusivitas, serta merangkul, dan seperti konsep international atau pluralis atau ekumenikal, ia juga sebuah konsep besar yang melampaui sekat-sekat kepentingan, suatu keterbukaan terhadap keanekaragaman tujuan dan prestasi. Tentu ada reaksi dari para chauvinist, filsuf-filsuf analitik dan para fundamentalis yang melihat bahwa yang disebut internasionalisme, pluralisme dan ekumenisme menggambarkan suatu serangan langsung terhadap kepentingan nasional, kemurnian doktrin suatu masyarakat dan yang ditunjukkan dalam kesediaan membela kulturnya karena keyakinan akan superioritas cara hidup yang mereka miliki, pemikiran dan kebijaksanaan yang berkembang dalam kultur mereka. Namun, semua itu bukanlah sikap yang memadai dalam suatu upaya menjamin keragaman pola kultural.

Transkultural dan multikultural tidak dapat dipisahkan secara tegas. Meskipun hal-hal yang umum dari ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam beragam kultur; bisa saja terjadi bahwa ia merupakan formulasi sebuah kultur tertentu yang kemudian dapat diterangkan dengan berbagai cara yang berbeda. Multikulturalisme hadir dengan sendirinya, ketika yang menjadi masalah tidak menyangkut sebuah proposisi mengenai dunia objektif yang dapat diterjemahkan, melainkan menyangkut proposisi, objek-objek dan praktik-praktik yang mana secara struktural dapat ditransformasikan dari kultur yang satu ke kultur yang lain, tetapi dalam banyak kasus, menjadi kultur spesifik yang hanya dapat diapresiasi oleh mereka yang diasumsikan memiliki horizon yang mampu menjangkaunya, sedangkan yang tidak memilikinya malah menjadi sulit berbicara mengenai multikulturalisme. Contoh, seorang yang punya keyakinan religious yang condong pada totalitas akan kesulitan untuk menarik konsepsi mengenai ilmu pengetahuan keluar dari keyakinan religiusnya, dan menilai ilmu pengetahuan hanya dari sudut pandangnya yang fundamental, yang bila mengeras menjadi sikap politis, merupakan latar belakang sikap identitas: ilmu pengetahuan harus diukur dengan doktrin-doktrin religiusnya.

Berhadapan dengan situasi demikian, yang dibutuhkan dari seorang individu adalah kemampuan dan kemauan untuk memerluas horizon atau cakrawala berpikir sebagai satu syarat penting berkembangnya identitas multikultural. Dalam perluasan cakrawala itu, bisa saja terjadi konflik dalam diri mengenai pengetahuan baru yang ada, ini disebabkan karena kultur yang berbeda-beda selalu mengandung ketidakbersepadanan (incommensurable). Namun ketidakbersepadanan ini tidak menjadi alasan gerakan multikultural dibelokkan menjadi proyek monokultural. Sebaliknya bila dalam situasi demikian, perbedaan kultur mesti dihadapi dengan sebuah sikap surprise dan apresiasi yang tinggi, yang akan mendorong kita masuk dalam kehidupan kultur tersebut, dan pada gilirannya kultur menjadi jalan untuk memahami diri dari sudut pandang yang baru, yang akan menyumbang sesuatu yang baru dalam pembentukan identitas kita. Di sini saya teringat akan Gus Dur. Ia berani berhubungan dengan orang lain yang berbeda keyakinan dengan dirinya tanpa takut kehilangan ke-Islam-annya sekaligus ia membentuk identitasnya sebagai seorang pluralis.

Dengan demikian, di bawah sikap multikultur, setiap kultur yang berbeda dapat terus ada dalam bentuknya sebagaimana adanya. Di sini, seorang akan bebas dari ikatan fanatisme kultural bila ia mau melampaui cara berpikir yang dibentuk oleh lingkungannya sendiri. Transkultural menjadi aspek penting yang harus diperhitungkan dalam upaya menumbuhkan sikap multikultur. Dan sikap yang kelihatan ideal ini menjadi tantangan nyata untuk kurikulum yang cenderung menciptakan gaya berpikir monokultur.

Melampaui satu-satunya kultur kita tidak berarti menjalani suatu gaya yang bersifat pankulturalisme. Kita hidup dalam sebuah dunia plural yang tak mungkin diubah lagi (irreversibility), tetapi ada satu dasar bagi sebuah kehadiran bersama yang harmonis (harmonious coexistence), yakni dalam sharing timbal-balik dari aspek-aspek kultur yang dapat dipertemukan, dan respek timbal-balik terhadap aspek-aspek yang berbeda-beda dari masing-masing kultur. Namun, relasi timbal-balik yang saling menguntungkan ini merupakan sesuatu yang ideal, disebabkan hubungan antarkultur selalu bersifat asimetris, selain karena selalu ada sikap ketidakmauan untuk terbuka terhadap sesuatu yang berbeda.

Akhirnya, menurut Peter Caws, setiap individu memiliki kemampuan untuk bersikap melampaui bukan hanya kulturnya sendiri tetapi melampaui identifikasi kultural yang terjadi di bawah penindasan. Ia yakin bahwa kita mempunyai sebuah dunia bersama yang memiliki kapasitas untuk saling berbagi di antara berbagai kultur yang berbeda. Ini bukan sebuah konsep mengenai rasionalitas, tetapi ia yakin bahwa dengan rasio yang kita miliki, kita mampu untuk melakukan dialog antarwarga. Dari situ terbuka kemungkinan bahwa seorang individu adalah seorang dengan identitas yang dibentuk oleh suatu komunitas moral yang terbuka terhadap setiap perbedaan. Maka, kita menjadi pribadi-pribadi dengan identitas multikultural. Multikultural bukan sebuah pankulturalisme yakni “nobody is going to be at home everywhere, but to have many homes, not just one.”

Sumbangan Filsafat: Dialog Kultural dalam Konteks Indonesia

Pada peringatan hari Filsafat Sedunia tanggal 18 November 2010, UNESCO mengangkat tema Philosophy, Cultural Diversity and Rapprochement of Cultures”.Melalui tema ini diharapkan mampu mendorong kolaborasi akademik serta menyoroti kontribusi pengetahuan filosofis dalam mengatasi isu-isu global yang selalu merupakan persoalan kultural dan peradaban manusia. Di sini diharapkan adanya kesalingan dalam berbagi pikiran, elaborasi berbagai aliran pemikiran, dan bersama-sama mengeksplorasi berbagai ide kontemporer serta mendiskusikan tantangan global, dan bersama menemukan solusi dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.

Jalan kultur dipilih karena menurut Benediktus XVI, dialog kultural dan peradaban adalah dialog yang sangat intelektual. Kultur mengatasi perbedaan agama dan ideologi yang sering dikaitkan secara erat dengan kepentingan politik sempit. Secara antropologis,kultur memiliki dimensi-dimensi yang mampu mempersatukan. Ada dimensi spiritual, dimensi etis moral, dimensi estetis dan dimensi rasional. Maka dialog kebudayaan bukan semata-mata suatu dialog deliberatif gaya Habermasian melainkan juga dialog kenosis gaya Socrates: dialog yang membuka kemungkinan saling pemahaman dan pengakuan bahwa dari “yang lain” kita bisa belajar.

Karena sangat intelektual, maka menurut Mantan Direktur Jenderal UNESCO, Koïchiro Matsuura,filsafat dapat memainkan perannya yang menentukan. Ia mengungkapkan bahwa filsafat mampu memberikan landasan-landasan konseptual mengenai prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang membentuk kemungkinan perdamaian dunia - demokrasi, hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan.Dalam dialog kebudayaan, filsafat tidak menghadirkan dirinya sebagai hakim epistemik. Sebaliknya filsafat membawa paradigma berpikir yang mampu mendamaikan persoalan onto-epistemis yang terkait dengan ketidakmungkinan peserta dialogdapat secara lengkap terlepas dari akar kulturalnya. Dialog kultural: dari kultur-kultur yang co-esse (coexistence/ada bersama) menuju kultur-kultur yang pro-esse (proexistence/bersama ada). Memang sulit tapi tidak mustahil.

Dalam konteks Indonesia berarti, filsafat menyiapkan suatu landasan pertemuan antara beragam kultur Indonesia yang tidak akan saling meniadakan. Filsafat memberi kita modal dalam upaya penerimaan keanekaragaman kita. Kesadaran itulah yang diwujudnyatakan dalam format politik: demokrasi. Demokrasi menjadi jaminan rasional terhadap keragaman kepentingan kelompok. Dengan itu, hak asasi manusia dapat dilaksanakan. Tentu dengan jaminan fasilitas konstitusi yang memberi ruang bagi konsensus berbagai kepentingan kultural. Semua ini berawal dari pendidikan yang tidak menyiapkan perpecahan.

Daftar Pustaka

Caws, Peter, “Identity: Cultural, Transcultural, and Multicultural” dalam David Theo Goldberg, Multiculturalism: A Critical Reader, (Oxford & Cambridge: Blackwell, 19941)

Goldberg, David Theo, Multiculturalism: A Critical Reader, (Oxford & Cambridge: Blackwell, 19941)

Magnis-Suseno, Franz,Pijar-pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)

Mardiatmadja, BS., “Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah”, Kompas, (Jumat 18 Januari 2013).

Runesi, Sintus, “Pendidikan dan Persatuan”, Victory News, (Rabu, 10 Juli 2013).

Smith, Philip, Cultural Theory: An Introduction, (Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishers, 2001)

Sutrisno, Mudji, Membaca Wajah-wajah Kebudayaan, (Jakarta: Warna Widya Jati, 2011)

Sutrisno, Mudji, (Batu Uji) Menjadi Indonesia: Antara Teks dan Konteks, Gatra, (Rabu, 25 September 2013)

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (eds.), Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005)

Tajuk – Hidup, No. 01 Tahun 64. 3 Januari 2010

Artikel ini disarikan dari Peter Caws, “Identity: Cultural, Transcultural, and Multicultural” dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism: A Critical Reader, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1994), pp. 371-387. Dipresentasikan dalam diskusi Matakuliah Filsafat dan Multikulturalisme pada Program Magister Ilmu Filsafat Universitas Indonesia, pada Selasa 29 Oktober 2013.

Sumber berbahasa Indonesia yang cukup lengkap menguraikan asal-mula Festival Thesmophoria ini dapat dibaca pada Karen Amstrong, Masa Depan Tuhan, terjemahan oleh Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2011 [2009]), pp. 121-127.

Bandingkan dengan penjelasan Philip Smith mengenai macam-macam definisi kultur dalam bukunya Cultural Theory: An Introduction, (Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishers, 2001), pp. 2-3. Lihat juga Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (eds.), Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), p. 9. Juga artikel Mudji Sutrisno, Jalan Kebudayaan Menghadapi Globalisasi, (tanpa tahun dan tempat).

Lihat Philip Smith, Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (eds.).

BS. Mardiatmadja, “Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah”, Kompas, (Jumat 18 Januari 2013).

Sintus Runesi, “Pendidikan dan Persatuan, Victory News, (Rabu, 10 Juli 2013).

Lihat David Theo Goldberg, “Introduction: Multicultural Conditions” dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism: A Critical Reader, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1994), p. 4.

Secara lengkap dapat dibaca pada Charles Taylor, “Politics of Recognition” dalam David Theo Goldberg (ed.), Multiculturalism: A Critical Reader, (Cambridge: Blackwell Publishers, 1994), pp. 75-106.

Charles Taylor, ibid., p. 79.

Bandingkan misalnya dengan uraian Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Pijar-pijar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), pp. 11-24, khususnya bagian mengenai rasionalitas yang rasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline