Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Asal Bukan Ahok?

Diperbarui: 30 Oktober 2016   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: nusanews.com

"Sebagai oposisi, kami juga punya 'shadow cabinet'. Jadi di seluruh dunia, oposisi itu punya kabinet bayangan, karena harus siap mengambil alih baik secara konstitusional maupun tidak, karena kita harus mempersiapkan diri mana tahu kekuasaan itu harus digantikan,"

Pernyataan tersebut keluar langsung dari mulut Waketum Partai Gerindra Ferry Juliantono. Saya rasa ia "keseleo lidah" membuka strategi partainya, dan sudah bisa diduga beberapa hari kemudian pernyataan itu dicabut (mungkin setelah dimarahi sang Ketum). Di samping itu, dari pernyataan tersebut bisa sedikit banyak diketahui strategi Gerindra untuk meraih kekuasaan yang selama ini diidamkan ketua umumnya. Tanpa banyak diketahui, semua itu ternyata berhubungan erat dengan pilgub Jakarta.

Sebagian besar dari kita mungkin bertanya mengapa pilgub DKI begitu panas layaknya pilpres. Dari jauh hari, berbagai intrik dan konflik politik sudah berseliweran hingga terakhir menyangkut “Al Maidah 51”. Mengapa hal itu bisa terjadi ? Kita perlu flashback beberapa tahun ke belakang.

Andai ada orang yang paling malang di Indonesia, maka orang itu adalah Prabowo. Prabowo tidak bisa dipungkiri berperan banyak dalam mengangkat Jokowi sebagai Gubernur Jakarta, tanpa menyadari bahwa Jokowi di kemudian hari akan naik menjadi saingan utamanya dalam perebutan kursi Presiden. Dan akhirnya Prabowo kalah oleh Jokowi. Segala modal dan investasi yang tak terhitung angkanya dalam rangka memuluskan impian Prabowo musnah oleh seorang “plonga-plongo” bernama Jokowi. Ibaratnya membesarkan anak singa, lalu singa itu memakan sang majikan... Semua itu karena kesalahan kalkulasi politik Prabowo dan penasehatnya yang terlalu percaya diri.

Sakit hati Prabowo sedikit terobati dengan penguasaan parlemen oleh KMP dan duduknya kader Gerindra (saat itu Ahok) sebagai Gubernur Jakarta. Tapi apa mau dikata, Ahok memilih keluar dari Gerindra karena partai tersebut mendukung penghapusan pilkada langsung... Bagi Ahok dan orang yang berpikiran lurus lainnya, keputusan KMP yang ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD sama dengan memudurkan demokrasi. Menurut asumsi KMP, apabila tidak bisa mendapat kursi presiden, setidaknya mereka bisa menguasai semua kursi kepala daerah. Untunglah SBY yang takut citranya tercoreng segera membatalkan usulan tersebut.

Keluarnya Ahok dari Gerindra menambah sakit hati Prabowo. Bagaimana tidak, Ahok sudah disokong setengah mati oleh Prabowo dan Hasjim tapi kemudian beraksi layaknya “kacang lupa dengan kulitnya”. Pengkhianatan Ahok tidak akan pernah termaafkan.

Baca : http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/16/06581731/Hashim.Ceritakan.Kejengkelannya.terhadap.Ahok

http://www.tribunnews.com/metropolitan/2016/04/10/yusril-sebut-ahok-seperti-malin-kundang-karena-durhaka-kepada-megawati-dan-prabowo

Padahal Ahok bersikap seperti itu karena tidak setuju dengan arah politik gerindra yang menolak pilkada langsung (padahal sekarang Gerindra tetap berpartisipasi dalam pilkada langsung). Sikap Ahok yang tidak bisa dikendalikan menjadi masalah utama bagi partai. Skenario utama bisa gagal. Skenario apakah itu ?

Sumber: kaskus.co.id

Seperti diungkapkan dalam kalimat di awal tulisan, Gerindra memiliki agenda mengambil alih kekuasaan “baik secara konstitusional maupun tidak”. Skenario pertama yaitu menjatuhkan Presiden secara konstitusional agak susah karena mayoritas partai mengalihkan dukungan ke pemerintah. Oleh karena itu dipertimbangkan skenario kedua, yaitu menjatuhkan Presiden secara non-konstitusional. Bagaimana caranya ? Soal ini setiap ahli strategi militer pasti paham...
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline