Lihat ke Halaman Asli

Sinta Suryani Fadhilah

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dinamika Geopolitik dan Perlombaan Senjata: Implikasi Program Nuklir Korea Utara di Asia Timur

Diperbarui: 10 September 2024   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pasca-Perang Korea di tahun 1950-1953, Kim Il-Sung yang pada saat itu menjadi pemimpin Korea Utara, menyadari pentingnya pengembangan kapabilitas nuklir sebagai jaminan keamanan dan pertahanan nasional untuk negaranya. Langkah awal pengembangan program nuklir Korea Utara dilakukan pada tahun 1956, dimana Korea Utara menandatangani perjanjian dengan Uni Soviet untuk melakukan pelatihan ilmuwan nuklir. Program senjata nuklir Korea Utara dimulai pada tahun 1980-an. Pada tahun 2010-an, di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, Korea Utara mempercepat pengembangan program nuklir dan rudalnya. Korea Utara telah melakukan beberapa kali uji coba yaitu pada tahun 2006, 2009, 2013, 2016 (dua kali), dan 2017. Uji coba yang dilakukan pada tahun 2017 sendiri merupakan bom hidrogen, dimana uji coba ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam teknologi nuklir mereka. Namun, kemajuan teknologi tersebut justru berimplikasi pada geopolitik, dan dampak terhadap keamanan secara regional dan global. Adanya program ini mengancam keamanan negara-negara kawasan yang berdekatan dengan Korea Utara, seperti kawasan Asia Timur. 

Ancaman Geopolitik Program Nuklir Korea Utara

Program nuklir Korea Utara, telah memberikan dampak yang cukup signifikan pada geopolitik regional dan global, dimana keberhasilan Korea Utara dalam mengembangkan program nuklir telah menimbulkan ketegangan di kawasan Asia Timur, yang akhirnya mendorong peningkatan militer dan penguatan aliansi, ketegangan ini berpotensi memicu konflik bersenjata yang dapat mengganggu stabilitas perdamaian dunia. Akibat dari ketegangan di Semenanjung Korea, Selat Taiwan, dan Laut Cina Selatan menjadikan situasi di kawasan Asia Timur masih tidak stabil. Korea Selatan, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Korea Utara dan memiliki ikatan sejarah yang kuat, juga mengecam pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Korea Selatan menerapkan proses confidence building measure, salah satunya melalui Sunshine Policy. Kebijakan ini bertujuan untuk tidak mengisolasi Korea Utara, melainkan memberikan bantuan ekonomi untuk mendukung kelangsungan rezim Korea Utara. Di lain sisi, Tiongkok, sebagai negara yang berpengaruh di kawasan, sangat memperhatikan program nuklir dan rudal Korea Utara. Tiongkok menginginkan lingkungan yang stabil agar dapat fokus pada pembangunan ekonominya. Oleh karena itu, Tiongkok mendukung Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Tiongkok merasa bahwa uji coba senjata dan program akuisisi senjata Korea Utara dapat menimbulkan masalah besar. Tiongkok memiliki peran kunci dalam penyelesaian konflik Korea Utara. Meskipun pada awalnya Cina mendukung Korea Utara, seiring berjalannya Tiongkok berupaya untuk mencegah peperangan dan menjaga stabilitas kawasan. Namun, upaya Tiongkok untuk melucuti senjata nuklir Korea Utara beberapa tahun terakhir selalu gagal. Tiongkok berpendapat bahwa kegagalan ini disebabkan oleh penempatan sistem pertahanan rudal Amerika Serikat dan Korea Selatan di Korea Selatan, yang dianggap dapat menggeser keseimbangan kekuatan di kawasan. Ancaman nuklir Korea Utara juga mendorong Tiongkok untuk melanjutkan pengembangan dan perluasan gudang senjata nuklirnya sendiri, serta meningkatkan teknologi persenjataannya. Tiongkok juga mempercepat program nuklirnya sebagai respons terhadap penempatan Ballistic Missile Defense (BMD) oleh Amerika Serikat. Penempatan BMD Amerika Serikat di tingkat global dan regional membuat Tiongkok mengembangkan ukuran senjata ofensifnya dan membangun gudang senjata yang lebih besar. Negara-negara di kawasan ini mengambil pendekatan yang berbeda-beda dalam merespons ancaman dari program nuklir tersebut, mulai dari diplomasi hingga peningkatan kekuatan militer. Situasi ini menunjukkan pentingnya kerjasama internasional dan upaya diplomatik yang berkelanjutan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Timur.

Pendekatan Korea Selatan dan Tiongkok terhadap ancaman nuklir Korea Utara menunjukkan kompleksitas geopolitik di kawasan Asia Timur. Korea Selatan, melalui Sunshine Policy-nya, berupaya mencairkan ketegangan dengan pendekatan ekonomi, namun efektivitas strategi ini masih dipertanyakan. Di sisi lain, sikap Tiongkok yang tetap ingin menjaga stabilitas kawasan namun juga meningkatkan kapabilitas militernya sendiri, hal ini mencerminkan dilema keamanan. Kegagalan berulang dalam upaya denuklirisasi Korea Utara menggarisbawahi keterbatasan diplomasi tradisional. Tiongkok, sebagai aktor kunci, terjebak antara perannya sebagai mediator dan kekhawatiran akan pergeseran keseimbangan kekuatan regional. Tuduhan Tiongkok bahwa sistem pertahanan rudal AS-Korea Selatan berkontribusi pada kegagalan ini bisa dilihat sebagai upaya mengalihkan tanggung jawab, sekaligus mengungkapkan ketakutan akan berkurangnya pengaruh mereka. Ironisnya, ancaman nuklir Korea Utara justru memicu perlombaan senjata di kawasan. Tiongkok merespons dengan meningkatkan arsenal nuklirnya, yang pada gilirannya dapat memicu eskalasi lebih lanjut. Situasi ini menggambarkan paradoks keamanan, di mana upaya suatu negara untuk meningkatkan keamanannya justru mengurangi keamanan negara lain.

Ketegangan yang diciptakan oleh program nuklir Korea Utara telah menunjukkan betapa mudahnya konflik bersenjata muncul di era modern. Potensi untuk kesalahpahaman, eskalasi yang tidak terkendali, dan munculnya perang yang tidak diinginkan menjadi nyata. Apabila konflik di Semenanjung Korea pecah, konsekuensinya dapat meluas jauh melampaui kawasan regional, dimana ini menjadi ancaman stabilitas dan keamanan global. Kegagalan denuklirisasi berulang menggarisbawahi keterbatasan diplomasi konvensional. Sementara itu, tuduhan Tiongkok terhadap sistem pertahanan rudal AS-Korea Selatan bisa dilihat sebagai pengalihan tanggung jawab, namun juga mengungkap kekhawatiran valid tentang pergeseran keseimbangan kekuatan. Paradoksnya, ancaman nuklir Korea Utara memicu perlombaan senjata regional, menunjukkan kegagalan kolektif dalam penanganan masalah. Diperlukan pendekatan baru yang lebih inovatif dan kolaboratif, dengan insentif lebih kuat bagi Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Tanpa perubahan signifikan, Semenanjung Korea akan terus menjadi sumber ketegangan di Asia Timur. Oleh karena itu, ancaman nuklir Korea Utara harus dipandang sebagai peringatan bagi seluruh komunitas internasional. Ini menunjukkan betapa mudahnya kemajuan teknologi dapat disalahgunakan dan menimbulkan konsekuensi yang mengerikan bagi umat manusia. Hanya dengan kerja sama, komitmen, dan kepemimpinan global yang kuat, krisis ini dapat diselesaikan dengan cara yang menjamin perdamaian dan keamanan jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline