"Ojeg Neng Ojeg" . . . suara si Mang ojeg langsung terdengar ketika aku berjalan memasuki pertigaan Manisi. Aku tersenyum pada si Mang ojeg sambil berkata “Gak Mang, deket kok.”
Sore itu langit Manisi diguyur hujan meski tidak terlalu deras namun cukup membuat baju basah dan masuk angin. Aku terus berjalan sambil membawa kantong kresek kecil berisi makanan ringan. Ketika aku sampai di depan sebuah mini market, ada sekelompok orang yang mampu mencuri perhatianku dan sedikit membuat penasaran. Sambil terus berjalan, aku memperhatikan apa yang sedang terjadi. Di kelompok orang tersebut ada seorang Mang-mang tukang ojeg, seorang anak laki-laki kira-kira kelas empat SD, seorang ibu paruh baya dan seorang anak laki-laki yang beranjak remaja, kira-kira kelas dua SMA. Ketika aku lewat samar-samar terdengar suara Ibu paruh baya itu meminta anak remajanya untuk pulang, tapi anak tersebut menolak dan berkata tidak mau kembali ke rumah, si ibu bertanya apa alasan si anak tidak mau pulang, tapi anaknya seakan tidak peduli dan tetap pada pendiriannya untuk tidak pulang. Hati ibu mana yang tidak sedih mendengar pernyataan anaknya seperti itu. Kemudian sambil berusaha memayungi si anak, ibu tersebut menangis memohon anaknya untuk pulang. Tapi si anak tetap tidak menggubrisnya. Ya Allah . . . sakit, sesak, dan hanya bisa beristigfar sambil mengelus dada.
Aku terus melanjutkan perjalanan dengan pikiran yang tidak menentu. Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan ibu-anak tersebut, dan entah siapa yang salah tapi yang pasti rasanya sangat sakit melihat seorang ibu menangis memohon anaknya untuk pulang, tapi si anak tidak peduli dengan permohonan ibunya. Inikah caraMu mengingatkanku Rabb?
Sesak ketika ingat dosa-dosa yang mungkin aku anggap sepele tapi justru menyakitinya. Seperti itu pulakah pandangan orang terhadapku ketika aku berbeda pendapat dengan ibu dan aku marah terhadapnya? Seperti itu pula aku mempertahankan apa yang aku inginkan meski itu menyakitkan orang-orang yang telah membesarkanku? Berapa banyak air matanya yang terbuang karena ulahku? Berapa banyak luka yang telah aku torehkan dihatinya? Apa yang telah aku lakukan untuk bisa membahagiakannya? Berapa banyak harapan-harapannya yang telah aku tunaikan?
Ya Allah . . . rasanya malu ketika melihat perlakuan oranglain terhadap orangtuanya aku bisa berkomentar, tetapi belum bisa mengomentari diri sendiri. Begitu banyak pengorbanan yang telah ibu lakukan untukku, tak mungkin aku bisa membalasnya. Kasih sayang, nasehat yang terkadang panjang lebar, tawa, sungguh anugerah yang sangat berharga buatku, meski terkadang jengkel mendengar nasehat panjang lebarnya, tapi itulah kasih sayang yang ia tunjukkan.
Bu . . terima kasih atas semua pengorbananmu, kasih sayangmu, sekuat apapun aku berusaha untuk membalas, kasih sayangmu tak akan pernah terbalas, sekeras apapun aku berusaha pengorbananmu takkan pernah bisa aku ganti. Maafkan anakmu jika selama ini masih sering menyusahkanmu, membuatmu menangis, belum bisa meringankan bebanmu. Tapi ketahuilah, aku sangat menyayangimu Bu . . sangat menyayangimu, selamanya.
Love 5 Serangkai . . . ^_^
(Negeri 9 Matahari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H