Lihat ke Halaman Asli

Komodifikasi Cinta dalam Media

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Topik yang akan saya angkat adalah film seputar cinta.  Saya awali dengan pernyataan berbeda zaman, berbeda pula definisi cinta yang dihadirkan dalam sebuah film.  Mengapa saya bilang seperti itu? Well, saya menonton Gone with the Wind (1939)Sabrina (1954), Tristan and Isolde (2001), dan 500 days of Summer (2009).  Memang, keempat film tersebut tidak akan merepresentasikan secara keseluruhan atas film romansa Hollywood, namun paling tidak ada perbedaan mencolok yang menyadarkan saya bahwa pengaruh di luar film akan sangat memengaruhi ide cerita sekaligus nilai-nilai yang dibawa sebuah film.


Mari saya contohkan dengan alur terbalik.  Dalam 500 days of Summer, menurut saya, definisi cinta diobrak-abrik sedemikian rupa sehingga terjadi dekonstruksi pemikiran dalam film tersebut.  Hal ini ditunjukkan dari dua tokoh utama yang sepanjang film itu bertujuan untuk memahami status hubungan mereka dengan mempertanyakan hal yang filosofis: apakah jodoh itu takdir atau sesuatu yang diperjuangkan? Summer Finn sebagai wanita yang independen menganggap cinta itu hanya imajinasi dan tidak percaya akan komitmen (berpacaran, menikah, lalalala), sedangkan tokoh laki-laki yang bernama Tom Hansen menganggap Summer Finn adalah jodoh yang ditakdirkan baginya.  Summer Finn merupakan personifikasi dari pemikiran yang berkembang di kehidupan masyarakat dewasa ini.  Siapa yang butuh komitmen? Untuk apa menikah jika akhirnya hanya menjadi penjara bagi manusia dalam berbagai tanggungjawabnya? Kira-kira seperti itulah….Sebaliknya, Tom Hansen adalah wujud dari orang-orang yang berpikiran konservatif; setiap orang berjodoh dengan orang lain.  Voila, jadilah si tokoh laki-laki depresi karena hubungannya selama ini ternyata nggantung.   Perang wacana semacam ini memang sudah menjadi pola yang terdapat di beberapa film Hollywood di era posmodernini.


Mundur ke tahun 2001.  Film Tristan and Isolde muncul dengan semboyan before Romeo and Juliet, there was Tristan and Isolde.  Menurut saya, itu cuma akal-akalan produsernya saja supaya tidak sama dengan Romeo dan Juliet.  Film ini secara umum bersetting di era King Arthur di daerah Irlandia, tidak jauh-jauh dengan Braveheart (1990) pokoknya.  Di sini ide cerita kurang lebih sama dengan Romeo dan Juliet, kecuali pada tragedinya (berhubung ini menyangkut spoiler jadi saya tidak mau menjelaskan lebih lanjut).  Namun yang menjadi ciri khas romansa di film ini adalah bahwa cinta itu ternyata tidak lebih dari nafsu belaka.  Pokoknya asal bilang aku mencintaimu maka yang haram jadi halal; yang seharusnya salah menjadi benar; kalaupun harus membuat orang lain menderita, itu persoalan nomor 13.  Intinya, cinta itu tidak pernah murni saudara-saudara.


Dua ide tentang cinta yang skeptis di atas tampaknya amat berbeda dengan corak film Hollywood pada era keemasannya, sebelum tahun 60an.  Saya contohkan dengan film Sabrina (1954) yang diperankan sangat bagus oleh Audrey Hepburn, Humprey Bogart, dan William Holden.  Ceritanya klasik; tentang cinta segitiga antara satu orang putri sopir dan dua bersaudara kaya raya.  Di sini cinta digambarkan sebagai sesuatu yang manis dan serba penuh pengorbanan.  Logika cinta yang mungkin melampaui kasta, status sosial ekonomi, dan segala tantangan itu sah di sini. Ironisnya, di film ini juga saya melihat bahwa wanita ternyata baru bisa ‘dianggap’ ketika dia memiliki status sosial ekonomi yang tinggi.  Di tengah paradoks ini, setidaknya saya bisa membayangkan konstruksi pemikiran para sineas era pasca Perang Dunia II.  Cukup romantis, hehe.


Komodifikasi Cinta dalam Media


Cinta dan media, tampaknya menjadi bumbu yang tepat untuk menggaet para audiens dalam media.  Penggalian emosi dan perasaan, benar-benar taktik jenius dari para pekerja media.  Namun sama halnya teori klasik mengenai efek, saya tidak dapat melepaskan gagasan representasi dan re-presentasi yang dilakukan oleh media serta pengaruhnya dengan realitas sosial yang saya amati sehari-hari.  Pasalnya, saya melihat adanya absurditas antara fenomena relasi pasangan yang saya kenal (dengan permasalahan cintanya, hehe) dengan pola penceritaan kisah-kisah cinta yang dihadirkan oleh media.  pertanyaannya: siapa yang memengaruhi dan dipengaruhi? Apakah media yang menyerap fenomena di masyarakat atau justru masyarakat yang terpengaruh dengan ide-ide yang dibawa media?


Ah, pertanyaan yang klise dan bodoh, bukan? Bahkan saya menerka sendiri bahwa jawabannya sangat jelas: tentu saja dipengaruhi dan memengaruhi! Tapi kemudian saya bertanya lagi: kalaupun memang ada hubungan timbal balik antara masyarakat dan media, apakah itu berarti kita melihat cinta dalam realitas yang timbal balik juga?


Dalam beberapa kesempatan saya sering prihatin dengan cerita-cerita cinta yang saya dengar baik melalui orang yang mengajak bicara saya di jalan, yang sengaja cerita pada saya, atau sekedar membunuh waktu di sela-sela pekerjaan saya, plus dengan status-status facebook yang kentara jelas mempublikasikan suasana hati mereka.  Cerita mereka, menjadi dramatis dan membuat saya berkata dalam hati, “ternyata, hidup itu sama rumitnya dengan media, ya? Padahal hanya urusan cinta, dicintai, dan mencintai.  Tapi ujung-ujungnya ya kompleks beud.  Hal-hal seperti ini nih, yang menjadi santapan lezat media.  Comot sana, comot sini, buat naskah, dan voila! Jadilah satu narasi apik tentang cinta.


Mari kita lihat contohnya. Ada kecenderungan kisah cinta Twilight antara Bella dan Edward untuk direalisasikan dalam kehidupan nyata.  Seingat saya para papparazi getol sekali mengorek-ngorek hubungan si Robert Pattinson dan Kirsten Stewart.  Kasihan, privasi mereka menjadi sumber pundi-pundi majalah-majalah gossip dan infotainment dunia.


Apakah ini salah? Tidak, tidak.  Cinta itu tidak pernah salah.  Sekalipun membutakan dan beracun, semua akan dimaklumi.  Termasuk tema cinta di media.  Hanya saja, ketakutan saya bermuara di ranah psikologis audiens yang lalu secara tidak sadar berusaha membuat kisah cintanya berlebihan, persis roman picisan di novel-novel.  Sekali lagi, setiap orang bebas berekspresi.  Namun setidaknya, buatlah itu menjadi hal yang manis.  Jangan lalu karena diputus pacar bunuh diri menjadi jalan keluarnya (seperti yang saya lihat di beberapa kasus bunuh diri).  Atau depresi berlebihan dengan harapan sang mantan pacar akan kembali lagi (seperti yang dialami beberapa teman saya).  di sini saya ingin mengatakan bahwa kepintaran media terletak pada kemampuannya yang bisa mendorong alam pikiran kita secara tidak sadar (unconscious).  Jadi, tentu saja banyak di antara kita yang akan bilang, “Ah, engga juga kok.”


Penerimaan secara cuma-cuma (taken for granted) adalah kuncinya.  Saya selalu membiasakan diri untuk bertanya “mengapa?” pada setiap hal yang saya terima dari media.  Pertanyaan ini akan membuat saya tetap terjaga dan tidak terlena dengan informasi yang saya terima dari media.  Para pembaca yang budiman, ingatlah selalu ketika menjadi konsumen media (terutama media massa), apa yang mereka tawarkan hanya sebuah “produk” yang ujung-ujungnya rating dan duit semata.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline