Lihat ke Halaman Asli

Plesir ke Pacitan, Yuk!

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1426237405824140135

Minggu pagi di bulan Maret itu cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar terang. Langit mengamini indahnya alam Indonesia dengan membentangkan warna biru yang memesona. Jarum jam baru saja bergeser dari angka tujuh. Saya mengayuh sepeda ontel menuju terminal bus Seloaji (terminal baru)-Ponorogo. Hanya perlu 10 menit saya telah sampai di sana.

Setelah menitipkan sepeda di utara terminal dengan biaya Rp 1000/hari, saya bergegas membeli bekal makanan kemudian menyeberang jalan untuk mencari bus jurusan Pacitan. Keberuntungan masih berada di pihak saya ketika bus yang saya maksud sudah ngetem di ruas jalan. Sebenarnya bukan pemandangan rapi selayaknya terminal bus di Hong Kong. Tetapi saya diuntungkan karena tidak perlu berjalan terlalu jauh ke bagian dalam terminal. Saya mengeluarkan uang RP 14.000 untuk biaya satu kali jalan.

Kengerian bermula dari sini ketika bus yang saya tumpangi harus menunggu penumpang hingga 30-an menit. Ada rasa bosan ketika menunggu begitu lama terlebih handphone saya kehabisan pulsa, tidak ngerti cara ngisi pulasanya pula (hahaha kampungan!) dan saya tidak membawa buku. Komplitlah.

Hingga akhirnya bus itu berangkat juga. Di beberapa pinggir jalan, sesekali bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Saya lega. Akhirnya "pecah telur" di tahun 2013 lalu. Perjalanan jomblo ... eh solo pertama saya dimulai. Namun, hanya berjalan beberapa km, tepatnya di daerah Paju-Ponorogo, bus itu ngetem lagi. Saya fikir ini tidak lama. Nyatanya pak sopir malah turun dari bus dan mampir di sebuah warung kopi. Ia hanya duduk-duduk di bangku depan warung dan berbincang dengan beberapa lelaki di sana. Beberapa penumpang mengeluh tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Ibaratnya, perjalanan ini kan ada dalam kuasa pak sopir.

Bus pun berjalan lagi. Di sepanjang perjalanan antara Ponorogo dan Pacitan, mata ini disuguhi pemandangan yang luar biasa. Rumah-rumah penduduk banyak yang berada di bukit atau tanah yang lebih tinggi dari ruas jalan. Sawah-sawah terlihat berwarna hijau segar. Terasiring nampak seperti tangga berundak. Nyiur pohon kelapa dan gubug di tengah sawah membuat hati menjadi adem ketika memandang. Jalan sempit dan berkelok yang penuh dengan turunan maupun tikungan tajam, sedikit membuat hati berdesir, ngeri. Tapi inilah seni perjalanan di Indonesia. Maka, bila Anda yang saat ini merantau dan berencana kembali ke kampung halaman, jangan sampai heran dengan pelayanan transportasinya.

Belum puas mata ini dibuai alam yang masih perawan, bus berhenti, ngetem lagi. Kali ini sudah masuk daerah Tegal Ombo-Pacitan. Beberapa waktu sebelumnya, baliho selamat datang di kabupaten Pacitan dengan gambar wajah presiden menyambut bus yang saya tumpangi. Amboi, keren sekali.

Yang membuat tidak keren adalah ulah sopir. Sembari menurunkan dan menaikan penumpang, ia turun dari jok lalu memesan secangkir kopi di warung seberang jalan. Tak hanya itu, seusai menikmati coffee time-nya, ia berjalan di beberapa lapak buah. Mata saya terus mengawasi gerak-geriknya yang sesekali memetik rambutan yang menjadi komoditi pedagang. Bila mengingat hal itu, saya hanya terkekeh dan merasa geli.

Bus non-AC yang saya tumpangi terasa pengap. Aroma bensin, keringat, dan bau ayam yang dibawa masuk oleh pedangan bercampur menjadi satu. Panas yang menyengat membuat kelembaban semakin tinggi. Mendung putih pucat mulai mewarnai langit biru. Sepertinya mau hujan.

Tibalah saya di terminal Pacitan. Dengan kondisi transportasi yang seperti itu, perjalanan yang seharusnya hanya membutuhkan waktu 3 jam harus molor hingga pukul 11:30-an. Beberapa tukang ojek menawarkan tumpangan. Saya pun menerimanya untuk mempercepat perjalanan saya menuju pantai Teleng Ria dengan biaya Rp 5000 meski saya bisa ke sana dengan jalan kaki.

Memasuki area pantai, setiap kepala dan kendaraan pribadi dikenai karcis masuk sebesar Rp 5000. Namun, ojek tetap bisa mengantar saya hingga ke bagian dalam di dekat arena penjual makanan, aneka olahan hasil laut, sale pisang (pisang yang dikeringkan), maupun sovenir. Terdengar musik dangdut dan campursari mengalun. Rupanya ada orkes live di sana. Tak menunggu tempo, saya berjalan ke arah pantai, mengenang masa-masa bermain bersama teman-teman saat masih berseragam abu-abu.

[caption id="attachment_402586" align="aligncenter" width="576" caption="bikin kangen kampung T.T"][/caption]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline