Lihat ke Halaman Asli

Gagal Paham Bupati Kudus Sewenang-wenang Paksa Pentas Seni Berhenti

Diperbarui: 28 Mei 2017   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pertunjukan teatrikal pada acara Dhandangan di Alun-alun Kudus, Jumat (26/5/2017) sore kini menjadi buah bibir jagat dunia maya. Gara-garanya tingkah Bupati Kudus Musthofa Wardoyo yang memaksa pertunjukan kesenian berhenti. Penyebabnya, sang bupati tidak paham maksud pertunjukan tersebut.

Pertunjukan berjudul “Rampak Bedhug Dhandhangan” itu dihentikan sendiri oleh Musthofa. Dengan pengeras suara, Musthofa mengintervensi permainan yang diperankan belasan orang itu.

“Bapak ibu sekalian iki maksude piye iki ora ono suarane ora ono opo iki? Kudus ora nggone wong bisu, maka kalau ingin di dengar berbicaralah. Ini siapa skenarionya coba dijelaskan,” kata bupati.

Mendengar suara bupati, sontak permainan berhenti. Musik yang mengiringi pertunjukan juga mendadak diam. Musthofa meminta sutradara pertunjukan menjelaskan konsep dan makna pertunjukannya saat itu juga.

“Ini Pak bupati yo lahir nang Kudus tapi nek mbok ceritani kayak gini iki bingung, apalagi tamu-tamu saya ini. Coba kepala dinas pariwisata, ceritane piye, koe ki maksudmu opo?" 

"Ayo harus diceritakan, kamu dodol dawet, kamu jualan legen, kok reti-reti ono sing push up, reti-reti ono sing sandal japit pedot. trus oyok-oyok’an bidadari satu tadi yang baju putih tadi tarik kanan tarik kiri. Coba kamu ceritakan mas, paham tah ora iki?” lanjut bupati.

Seorang laki-laki kemudian maju. Dia adalah Gunadi Siswo Nugroho, sutradara pementasan. Ia menjelaskan bahwa adegan yang dimaksud bupati adalah cerita tentang seorang pembeli yang diperebutkan dua orang pedagang.

“Ceritanya seorang pedagang yang rebutan pembeli, memang modelnya kayak pantomim, sebagian mungkin tahu,” kata Gunadi.

Mendengar jawaban itu, bupati nampaknya kurang puas. Ia meminta pementasan seperti itu seharusnya didahului dengan prolog atau narasi pengantar. “Lain kali harus ada narasi, ada yang menjelaskan. Ini ceritanya kalau istilahnya wong Kudus maniak pedagang, ada prolognya, oo jaman dulu oyok-oyok'an narik pembeli nek sekarang apik-apikan pelayanan. Ngono lho mas, ya, gitu ya, wes tak komentari terus ki mic-e tak cekel terus, ati-ati yang lain nanti, langsung MC saya ambil alih, ati-ati yang lain yang akan tampil, angger ora paham tak takonke, mumpung isih dadi bupati durung dadi gubernur,” ujarnya.

Usai pementasan, Gunadi menjelaskan bahwa pementasan tersebut bercerita tentang Kudus zaman dahulu. Saat Sunan Kudus hendak menabuh bedug tanda awal Ramadan, banyak masyarakat Kudus yang hadir menyaksikan. Karena ada keramaian, kemudian mengundang pedagang untuk berjualan.

“Tadi diujung pementasan ada adegan melihat hilal, kemudian dilaporkan kepada ulama. Kami tidak berani memerankan Sunan Kudus, jadi kami simbolkan para ulama. Tadi juga ada pedagang mainan otok-otok, kodok-kodokan. Selain itu juga ada lentog, legen, dawet, mewakili makanan tradisional,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline