Dari curhatan seorang kawan, dia bertemu dengan seorang pengusaha rumahan dibidang garment yang telah mendaftarkan sebagian karyawannya sebagai peserta di BPJS Kesehatan. Pengusaha tersebut mempekerjakan setidaknya 30 orang karyawan, namun yang terdaftar sebagai peserta PPU hanya separuhnya. Si pengusaha sebetulnya tidak keberatan mendaftarkan karyawannya. Uniknya, justru karyawannya yang tidak bersedia didaftarkan dengan alasan keberatan membayar iuran. Padahal biasanya pekerja industri rumahan justru ngebet didaftarkan karena khawatir sakit sewaktu-waktu. Jangankan untuk berobat, untuk modal usaha sendiri pun masih diperjuangkan. Singkat cerita, pada intinya pengusaha tidak mendaftarkan si pekerja karena pekerjanya sendiri tidak bersedia dipotong upahnya untuk dibayarkan kepada BPJS Kesehatan. Lantas bagaimana tinjauan hukum atas skenario demikian ?
Kita perlu mengacu ke UU Nomor 24 Tahun 2011 (selanjutnya saya sebut sebagai “UU BPJS”) dan tentu untuk setiap hal yang terkait dengan upah pekerja kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 (selanjutnya saya sebagai “PP Upah”). Berikut uraian singkatnya :
Memotong dan membayar iuran BPJS sesuai dengan porsinya merupakan kewajiban.
Pasal 19 ayat 1 UU BPJS berbunyi “Pemberi Kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS”, kemudian Pasal 19 ayat 2 UU BPJS juga berbunyi “Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS”. Artinya, mendaftarkan pekerja dan memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS merupakan kewajiban yang secara tegas diatur dalam UU BPJS. Lantas bagaimana bila pengusaha tidak bersedia membayar iuran yang sudah menjadi kewajibannya ? Pasal 55 UU BPJS menyatakan bahwa pelanggaran ketentuan ini diancam dengan pidana penjara 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Loh tapi kan skenario kita pengusahanya mau, tapi pekerjanya yang tidak mau. Emangnya apa dasar bagi pengusaha untuk memotong upah pekerjanya ? Bukankah upah pekerja dilindungi juga oleh Undang-Undang yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan ?
Ternyata Pemotongan Upah untuk BPJS termasuk yang dikecualikan dari Pasal 57 ayat (2) PP Pengupahan.
Ketentuan (Pasal 57 PP Upah) memang menyatakan bahwa pengusaha hanya dapat memotong upah pekerja untuk membayar apapun yang terkait dengan kebutuhan para pihak, seperti denda, ganti rugi dan/atau uang muka upah. Khusus untuk pemotongan upah yang dilakukan untuk kepentingan pihak ketiga (sebetulnya BPJS juga termasuk pihak ketiga), pengusaha terlebih dahulu wajib memiliki surat kuasa dari pekerja. Maksudnya agar setiap potongan yang dilakukan wajib disetujui oleh pekerjanya sendiri. Hal ini penting untuk melindungi pekerja. Namun ternyata secara tegas Pasal 57 ayat (4) PP Upah menyatakan bahwa surat kuasa tidak diperlukan lagi bila pemotongan dilakukan untuk menjalankan kewajiban terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Regulasi telah mengatur dengan tegas, namun ini bukanlah solusi bagi pengusaha. Bagi pengusaha, paksaan mendaftarkan si pekerja sebagai peserta dapat menyebabkan hubungan kerja menjadi tidak harmonis. Kenyataannya apapun yang dipaksakan memang tidak akan nyaman bagi yang menjalani. Terus gimana ? Bagi saya, BPJS lah yang harus menjelaskan perihal kewajiban ini kepada si pekerja secara langsung. Setidaknya yang dibenci orang BPJS nya, bukan pengusahanya. Hehe.
Kenyataannya, karyawan perusahaan garment tadi berubah pikiran setelah diedukasi langsung. Ternyata keengganan pekerja untuk didaftarkan disebabkan ketidaktahuan mereka atas hak dan kewajiban masing-masing. Hal ini wajar mengingat sosilasasi yang telah dijalankan baik dalam bentuk iklan maupun materi publikasi mungkin tidak menyentuh pekerja sektor industri rumahan yang sehari-hari disibukkan dengan pekerjaan serabutan, sehingga tidak sempat mengakses informasi dari koran dan media lain. Apa-apa mereka ketahui dari mulut ke mulut. Ternyata, pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang” benar-benar terimplementasi di kehidupan sehari-hari.
Ditulis Oleh : Singgih Widiatmoko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H