Lihat ke Halaman Asli

Bagaimanakah Status Konservasi Kepulauan Krakatau?

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13551137741234928071

[caption id="attachment_213725" align="aligncenter" width="300" caption="Plang Larangan di Kawasan Kepulauan Krakatau"][/caption] Kawasan Kepulauan Krakatau terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil yaitu Pulau Krakatau Besar (Rakata), Pulau Krakatau Kecil (Panjang/Lang), Pulau Sertung (Verlaten) dan Pulau Anak Krakatau. Kawasan ini memiliki kekayaan dan keunikan tersendiri baik secara geologis maupun ekologis. Selama lebih dari seratus tahun sejak sterilisasi akibat letusan dahsyat pada tahun 1883, Kepulauan Krakatau telah dimonitor dan ditelaah secara terus menerus oleh berbagai ilmuwan dan ahli ekologi terutama mengenai lingkungan daratannya (antara lain: Thornton dan Rosengren, 1988; Whittaker et al., 2000). Keputusan Pemerintah Hindia-Belanda (Government decree No. 7 of January 1925, Staatsblad van Nederlandsch-Indie) yang menyatakan Pulau Rakata dan Pulau Sertung sebagai nature reserve merupakan tindakan konservasi yang pertama kali dilakukan. The Nature Conservation Ordinance pada Tahun 1941 menambahkan Pulau Panjang masuk sebagai kawasan konservasi, sedangkan Pulau Anak Krakatau ketika itu masih belum ditetapkan. Kepulauan Krakatau menjadi bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada Tahun 1980 (Genolagani, 1983). Melalui SK Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1990 pada tanggal 26 Februari 1990, Kepulauan Krakatau ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan luas wilayah 13.735,10 ha, yang terdiri dari Cagar Alam Laut seluas 11.200 ha dan Cagar Alam Seluas 2.535,10 ha. Cagar alam termasuk ke dalam kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami (UU No. 5 Tahun 1990). Pengelolaan kawasan ini dialihkan dari Taman Nasional Ujung Kulon kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung sejak 3 Mei 1990. Tanggal 1 Februari 1992 UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menetapkan Kepulauan Krakatau bersama TNUK sebagai salah satu Situs Warisan Dunia (World Heritage Site).

Status Cagar Alam yang diberikan kepada Kepulauan Krakatau memberikan batasan-batasan tertentu terhadap perlakuannya. Sesuai dengan UU RI No. 5 Tahun 1990 Cagar Alam termasuk ke dalam suaka alam dan di kawasan tersebut aktivitas yang dapat dilakukan adalah hanya untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

[caption id="attachment_213703" align="aligncenter" width="300" caption="Kapal Wisatawan Kepulauan Krakatau"]

1355111163829807268

[/caption] Contoh sederhana dalam pemanfaatan kawasan ini adalah harus adanya surat izin masuk kawasan konservasi atau SIMAKSI yang harus diurus terlebih dahulu ke kantor BKSDA untuk mendapatkan izin masuk ke dalam kawasan Kepulauan Krakatau. Namun demikian kebanyakan kita dan wisatawan lainnya baik lokal maupun mancanegara sering tidak mengurus surat tersebut. Tidak harus menyalahkan pihak manapun. Namun hal tersebut terkadang tidak diketahui oleh wisatawan karena kurangnya informasi sebelum berangkat ke kawasan ini. Suatu ketika seorang wisatawan mancanegara bergumam; “Indonesian people are crazy”. Tentu saja saya sangat terkejut dan langsung menanyakan maksud perkataannya. Why do you think like that Mister? Dia menjawab sembari tersenyum, “You are living at active volcano” sembari menunjuk pos pengamatan jagawana yang berada di bawah rindang pohon pinus di Pantai Anak Krakatau. Tentu saja saya tertawa, dan menjelaskan bahwa kami adalah forest ranger atau jagawana yang mengawasi kawasan konservasi Kepulauan Krakatau. Rupanya dia tidak mengetahui bahwa pulau ini merupakan kawasan konservasi dengan status cagar alam dan harus dijaga pemanfaatannya.

Contoh lain yang sedikit melanggar hukum adalah kegiatan wisatawan yang melakukan snorkeling dan diving secara bebas di kawasan ini. Memang tidak semua tempat dilakukan snorkeling dan diving, tetapi apabila hal tersebut terus dilakukan dan tanpa adanya pemahaman dan pengawasan terhadap aktivitas tersebut, ekosistem terumbu karang pasti akan terpengaruh sedikit demi sedikit. UU No 5 jelas melarang terhadap segala macam kegiatan yang dapat mengubah keutuhan kawasan cagar alam. Kegiatan yang paling bisa dilakukan adalah kegiatan penelitian dan sekalipun wisata adalah wisata yang berbasis ekstrim ekologi atau beretika lingkungan kategori deep ecology. Artinya sangat memperhatikan lingkungan wisata, bukan wisata massal (mass tourism) yang akan berakibat buruk terhadap kawasan cagar alam itu sendiri.

[caption id="attachment_213701" align="aligncenter" width="300" caption="Menginjak terumbu karang saat berenang *ilustrasi"]

13551111041169128215

[/caption] Pengambilan spesimen sebagai suvenir atau koleksi, pembuangan sampah sembarangan yang kemungkinan mengandung benih buah, merusak vegetasi pantai untuk pembuatan kemah, menginjak terumbu karang dalam kegiatan snorkeling, pelemparan jangkar di area terumbu karang, menangkap ikan ketika nelayan berteduh dari gelombang tinggi, sengaja melakukan destructive fishing dikawasan terumbu karang dan lain sebagainya merupakan tugas dari setiap pengunjung untuk tidak melakukannya. Bukan hanya kemeterian kehutanan, kantor BKSDA, masyarakat lokal dan anggota tim jagawana saja yang wajib melaksanakannya. Tindakan konservasi harus ditanamkan mulai dari diri sendiri, gunakanlah hati nurani agar lingkungan sekitar kita tidak rusak dan dapat dimanfaatkan terus secara berkelanjutan. *** Sumber Foto: Pribadi



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline