Lihat ke Halaman Asli

Singgih Pandu Wicaksono

Penulis Personal Blog

Ancaman Konflik di Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

Diperbarui: 1 Juni 2024   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Situasi global dimulai dengan perubahan tatanan polarisasi politik dunia dari sistem unipolar, Amerika Serikat sebagai kekuatan utama, menjadi sistem multipolar. SIstem multipolar yang terdiri dari kekuatan militer Cina, Rusia, Iran, dan Korea Utara sebagai penyeimbang terhadap kekuatan Amerika Serikat.

Pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina merupakan indikasi menguatnya polaritas geopolitik global. Menguatnya kepentingan geopolitik sebagian besar didasari oleh motif ekonomi. Menurut Bank Dunia pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan sekitar 3% pada tahun 2023. Negara-negara di dunia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan risiko inflasi di berbagai negara. Selain itu, motif kebutuhan pangan, air, dan energi memicu strategi pengelolaan sumber daya alam, khususnya laut, yang memicu potensi konflik di hampir berbagai belahan dunia baik secara terbuka maupun negoisasi politik ekonomi. Situasi ini menimbulkan munculnya dilema keamanan global.

Setiap negara harus bergerak secara adaptif dan mencari strategi terbaik dengan membentuk aliansi pertahanan atau memperkuat pertahanan militer serta perlombaan senjata sebagai strategi negosiasi untuk menjamin kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Terbentuknya aliansi baru seperti AUKUS, QUAD, Shanghai Cooperation Organization/ SCO merupakan fakta konkrit untuk memperkuat strategi aliansi pertahanan.

Di kawasan regional, kehadiran Cina menjadi perhatian utama. Saat ini, Tiongkok sedang melakukan The great0rejuvenation of the Chinese0nation tahun 2049, yang akan dilaksanakan melalui strategi sosial, politik, dan militer. Di bidang militer Cina sedang menerapkan strategi pengembangan Military Civil Fusion (MCF) untuk menggabungkan militer dan sipil dalam membangun strategi dan kemampuan nasional yang terintegrasi dalam rangka mendukung tujuan pemerintahan nasional Cina.

Secara agresif People's Liberation Army (PLA) mengembangkan kemampuan untuk memberi Cina pilihan dalam mencegah, menghadang atau mengalahkan intervensi pihak lain di kawasan Indo-Pasifik. Cina mengembangkan kemampuan untuk menjalankan operasi militer di kawasan Indo-Pasifik, serta meningkatkan peran global PLA MOOTW melalui strategi operasi militer selain perang yang ditetapkan sebagai doktrin baru. Hal itu menjadi dasar hukum tentara Tiongkok untuk menjalankan misi seperti rencana bantuan militer, bantuan kemanusiaan, pengawalan, pemeliharaan perdamaian, melindungi kedaulatan nasional Tiongkok berupa melindungi aset nasional berupa proyek infrastruktur pemerintah Tiongkok di luar negeri.

Cina masih berusaha membuka pangkalan militer di negara lain untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Saat ini, Cina telah memiliki pangkalan militer di Djibouti dan terus memperluas pangkalan militernya di Kamboja dan Kepulauan Solomon.
Terdapat berbagai permasalahan dalam situasi kawasan khususnya Asia Tenggara. Salah satunya yang menjadi perhatian global terkait dengan sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Konflik Natuna memanas kembali setelah China menuntut Indonesia menyetop pengeboran minyak dan gas alam (migas), karena mengeklaim wilayah itu miliknya. Padahal, Indonesia dengan tegas sudah mengatakan, ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusif milik Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.

Cina membentuk Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) untuk memantau wilayah udara di LCS dan membentuk zona maritim di provinsi Hainan, mewajibkan semua kapal yang berlayar di wilayah tersebut untuk melapor ke otoritas lokal dan menggunakan perairan yang disengketakan dengan Vietnam. Selain itu, Cina juga membangun jaringan sensor yang memperkuat komunikasi dan jaringan radar yang menghubungkan semua wilayah untuk memperkuat klaimnya di LCS.

Komando Angkatan Laut PLA memiliki lebih banyak kapal perang daripada angkatan laut negara-negara ASEAN. Masalah perbatasan antar negara menjadi isu yang sensitif di kawasan. Banyak negara sampai saat ini menghadapi permasalahan perbatasan yang belum selalesai melaui perundingan dengan tetangganya.

Di Kawasan pasifik selatan Australia melihat Cina semakin agresif mengembangkan pengaruhnya di kawasan melalui Belt and Road Initiative (BRI), sehingga mengancam kepentingannya. Reaksi Australia adalah terus menyampaikan sisi negatif BRI, menentang klaim Cina di LCS dan menuduh Cina sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pandemi Covid-19.

Gelar kekuatan negara adidaya tersebut perlu dipertimbangkan sebagai potensi ancaman bagi Indonesia. Amerika Serikat dan Tiongkok dapat menggunakan pangkalan militernya yang tersebar dikawasan sebagai pangkalan aju untuk proyeksi kekuatan. Selain itu posisi Indonesia juga masuk dalam radius pesawat jet tempur, pesawat pembom dan rudal jelajah Amerika dan Tiongkok. 

Negara adidaya saling berlomba menggelar kekuatannya ke seluruh kawasan. Kompetisi yang terjadi sebagian besar dikarenakan persaingan pertumbuhan ekonomi yang berdampak meningkatnya kebutuhan akan energi. Kebutuhan tersebut mendorong penguatan angkatan bersenjata dan juga belanja militer yang akhirnya akan berpotensi besar menjadi perang terbuka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline