Program Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo (Jokowi) dalam percepatan pengurusan sertifikat tanah patut diapreasi karena sebelum era beliau untuk mengurus sertifikat perlu waktu bertahun-tahun. Lamanya pengurusan sertifikat akhirnya menimbulkan praktek-praktek nakal seperti pungutan liar ( pungli ) yang sangat membebani konsumen. Kalau ingin cepat sertifikatnya jadi maka perlu tambahan biaya yang rumayan banyak sehingga ada isitilah "biaya percepatan".
Praktek pungli juga kerap terjadi misal dalam pengurusan surat keterangan ahli waris yang dilakukan di kelurahan atau kecamatan.
Untuk mendapat tanda tangan dari pejabat di tingkat kelurahan dan kecamatan maka perlu membayar sejumlah uang tanpa menggunakan kwitansi.
Sudah ada pelaku pungli yang ditangkap polisi berkat laporan masyarakat tapi juga ada yang tidak dilaporkan karena masyarakat yang dirugikan takut/khawatir jika melaporkan ke polisi masalahnya akan berlarut-larut misalnya terlapor akan menuntut balik dengan pencemaran nama baik ataupun proses pengurusan sertifikat jadi terhambat atau lebih lama.
Pada umumnya biaya yang dibayarkan oleh konsumen dalam pengurusan sertifikat kepada PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) atau Notaris atau pengurusan lewat oknum pejabat pemerintah adalah bersifat menyeluruh (gelondongan atau all in one) yaitu biaya notaris/PPAT, BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), Pajak dan biaya-biaya lain ditentukan dan dibayar semua diawal pengurusan dengan satu kwitansi dan konsumen tidak diberi rinciaan biaya karena biaya tersebut adalah taksiran dari oknum tersebut sehingga di sinilah mereka mendapat keuntungan yang besar, hal ini menimbulkan dampak yaitu konsumen membayar lebih mahal dari ketentuan.
Tidak ada alur waktu yang jelas dari awal hingga akhir dalam pengurusan sertifikat (waktu maksimal agar sertifikat jadi) dan penerimaan jumlah uang yang besar hal ini juga bisa disalahgunakan oleh oknum nakal yaitu uang yang disetor ke oknum tersebut tidak langsung digunakan untuk mengurus sertifikat tapi uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi si oknum karena si oknum merasa santai saja menggunakan uang karena tidak dikejar deadline (batas waktu penyelesaian).
Dan yang lebih tragis lagi jika si oknum punya masalah keuangan yang akut dan parah sehingga serifikat tidak terurus dan uangpun habis entah kemana, akhirnya konsumen terpaksa melaporkan ke polisi.
Sedangkan konsumen yang lain memilih dengan cara kekeluargaan yaitu dengan cara memantau ketat jalannya proses dimana si oknum disuruh menyiapkan dokumen sedangkan untuk pembayaran BPHTB dan Pajak nanti dilakukan sendiri konsumen ( biasanya BPHTB dibayar via Bank Pembangunan Daerah sedangkan untuk pajak via kantor pos) bahkan kadang konsumen harus menalangi biaya tersebut karena si oknum sudah tidak punya uang karena jika dibiarkan sertifikat tidak akan jadi.
Untuk menjaring para oknum nakal dalam pengurusan sertifikat maka pemerintah perlu mengadakan bulan klarifikasi yang ditujukan kepada seluruh masyarakat yang mengurus sertifikat yang sudah lebih dari satu tahun sertifikatnya belum jadi, dalam bulan klarifikasi nanti BPN membuka pengaduan dari masyarakat kemudian dikumpulkan dan dipilah-pilah masalahnya apakah terletak di oknum notaris atau PPAT atau pemerintah.
Jika terkait oknum maka BPN bisa langsung mempertemukan konsumen dengan oknum tersebut untuk mengetahui masalah yang terjadi dengan disaksikan beberapa pihak seperti dewan kehormatan/etik notaris atau PPAT, kantor pajak, pemerintah daerah dan polisi hal ini untuk memberi efek jera kepada oknum yang nakal agar tidak mengulangi perbuatan dan juga untuk memberi penilaian kinerja oknum tersebut.
Praktek nakal dalam pengurusan sertifikat tidak hanya merugikan konsumen tapi juga pemerintah daerah maupun pusat, karena BPHTB dan pajak yang seharusnya segera disetor tapi justeru diperlambat bahkan diselewengkan oknum.