Lihat ke Halaman Asli

Kamu Cuma Bebek

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mungkin sudah sifat manusia untuk selalu ingin dikenang jejaknya. Walaupun banyak manusia belajar ikhlas, melakukan sesuatu tanpa pamrih, tetapi toh ketika pada suatu ketika ada orang lain yang mengingat jejaknya pasti akan merasa senang.

Boleh jadi, perasaan itu muncul begitu saja dan tak terhindarkan. Minimal, itu yang sering saya rasakan. Sebagai guru, saya mengajar karena kesenangan semata. Tapi kan dapat gaji? Memang, dan itu baru saya mengerti belakangan bahwa menerima gaji tidak berbanding lurus dengan kandungan pengabdian di dalamnya.

Kok kesenangan semata, sih? Yakin?

Awalnya saya juga tidak yakin. Akan tetapi, kata-kata yang muncul dari mulut seorang teman yang datang ke rumah pas hari pertama saya tiba di kampung membuka kesadaran saya,

“Lha kamu itu tulisan banyak sekali kok gak segera dibendel jadi sebuah buku, misalnya, itu gimana?”, kata teman itu di sela obrolan sambil minum kopi.

Pertanyaan tersebut sungguh menyentak kesadaran saya. Saya jadi ingat, sejak beberapa tahun lalu saya menulis hampir setiap hari. Semua berawal dari kegilaan ngeblog saya. Hanya saja, saya lebih banyak menulis di blog keroyokan. Ada kesenangan yang saya dapatkan di situ.

“Malas mengumpulkan tulisan yang tersebar itu!”, jawabku datar.

“Hemm….kamu itu kayak bebek, bertelur doang tapi nggak mau mengeram!”

Saya tersenyum kecut. Boleh jadi omongan teman saya itu benar.

“Memangnya kamu sudah cukup puas kalau ada muridmu yang menghasilkan sebuah novel seperti waktu itu? Kamu puas ketika muridmu sudah bisa menjadi sebuah script writer di sebuah stasiun televisi?”, ia mendesakku.

“Begitulah….!”, lagi-lagi saya menjawab dengan kecut.

“Tapi kamu tidak memikirkan dirimu sendiri!”

“Maksudmu?”

“Mungkin kalau kamu mau sedikit memaksakan diri untuk mengumpulkan tulisan-tulisan mu, bisa jadi menjadi sebuah buku yang akan mendatangkan uang!”

“Gitu, ya?”

“Saya tahu kamu sudah tahu. Cuma ya malasmu itu!”, dengusnya sengit.

Memang, seorang murid saya sudah menghasilkan novel. Seorang lagi sudah berhasil menjadi penulis script di sebuah televisi. Beberapa orang yang dulu saya perkenalkan dengan sebuah komunitas tertentu juga sudah berhasil menjuarai lomba di komnitas tersebut.

“Mereka mengingatmu?”

“Tidak!”, jawab saya sambil ngakak.

“Kamu tidak sakit hati?”

“Apakah kamu melihat rupa sakit hati di wajahku?”

Ia melengos.

“Padahal, sebenarnya rupa itu yang ingin aku lihat!”, dengusnya.

Hemm….entahlah, sampai saya menulis inipun, saya masih belum bisa beranjak. Menulis ya menulis saja, berbagi ya berbagi saja. Itu sudah sangat membuat saya senang. Mau apa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline