Lihat ke Halaman Asli

Ir. Sukmadji Indro Tjahyono

Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Impor Pangan Sama dengan Bunuh Diri Massal Petani

Diperbarui: 30 September 2015   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto

Beberapa waktu yang lalu diadakan pertemuan antara wakil Presiden, Menteri Negara BUMN, Menteri Pertanian, dan Direktur Utama BULOG yang diperkirakan membahas persediaan beras dan dampak iklim ekstrim El Nino. Seusai pertemuan, Wapres Jusuf Kalla memberi isyarat bahwa impor beras dapat dilakukan jika pasokan dan stok beras tidak mencukupi. Namun selang sehari, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemerintah belum memutuskan untuk impor beras. Terakhir Ketua MPR menimpali, kalau kurang beras sebenarnya memang lakukan saja impor beras.

Sikap banci pemerintah di bidang pangan dan pertanian untuk impor atau tidak impor beras di atas hendaknya segera diubah. Hal ini mengingat bahwa pertanian pangan melibatkan banyak faktor dan pada prakteknya membutuhkan kepastian. Selain itu sebagai komoditas yang sensitif dari segi harga dan stok, bidang pangan mengharuskan kesiapan, kecermatan, dan keandalan dalam mengendalikan berbagai variabel makro politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

MENGALAMI MALAPETAKA

Akan tetapi setelah Bung Karno menyatakan bahwa pangan adalah soal hidup-matinya bangsa, rezim-rezim berikutnya tidak secara konsisten dan konsekuen melaksanakan amanat tersebut. Rezim Suharto menaruh minat terhadap swasembada pangan, tetapi di lain pihak membiarkan potensi pertanian tergerus oleh pembangunan sektor lainnya. Setelah reformasi sejak era Gus Dur sampai rezim sekarang, dalam urusan pangan, pemerintah masih terbatas meneriakkan slogan dan bertindak plin-plan.

Pada tahun 1952 saat peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor (IPB) Bung Karno berpidato: “Rakyat Indonesia akan mengalami celaka, bencana, malapetaka dalam waktu dekat, kalau soal makanan rakyat tidak segera dipecahkan. Sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal, dan revolusioner; kita akan mengalami malapetaka”.

Mengatasi pangan dengan cara menerjemahkan pidato Bung Karno tersebut, itulah tantangan kita saat ini. Namun celaka, bencana, dan malapetaka yang disebut-sebut Bung Karno itu sayangnya sudah terjadi saat ini. Antara tahun 2000 – 2010 laju impor komoditas tanaman pangan utama mengalami laju perkembangan nilai yang fantastis; beras (25,35%), jagung (34,13%), kedelai (3,81%), kacang tanah (15,33%), ubi jalar (27,57%), dan ubi kayu (29,19%). Padahal semua komoditas ini sebenarnya merupakan tanaman pangan tradisional yang sudah sejak dahulu kita tanam sendiri di negeri ini.

Indonesia akhirnya sekarang telah menjadi negara importir pangan terbesar dengan nilai impor mencapai 12 miliar dolar AS setahun. Impor pangan Indonesia dengan jumlah penduduk peringkat keempat ini bahkan mengungguli India dan Cina. Di Indonesia anehnya nilai impor komoditas pangan selalu meningkat menjelang diselenggarakannya Pemilu/Pilpres di tanah air.

MENTALITAS CALO HAMBAT PERTANIAN PANGAN

Ketergantungan terhadap impor pangan tampaknya sulit diretas mengingat keuntungan dari impor pangan sangat menggiurkan. Alpanya pemerintah dalam pengendalian harga pangan telah menciptakan disparitas harga yang cukup besar antara di luar dan dalam negeri yang menyisakan profit margin yang luar biasa bagi perusahaan yang memegang ijin impor. Arus deras impor produk pangan luar negeri inilah yang membuat collaps pertanian dalam negeri

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline