BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Fungsi BPJS Kesehatan adalah meringankan beban mereka yang mendapatkan layanan tersebut, supaya tidak memberatkan dalam segi biaya, namun ternyata yang terjadi tidak seperti kelihatannya.
Sebab yang terjadi saat ini terdapat perbedaan sangat signifisikan antara pelayanan yang diterima oleh pengguna BPJS dan umum. Banyak kasus yang ditemukan dilapangan bahwa pasien BPJS dianaktirikan daripada pasien umum. Sebenarnya masalah ini bukan terletak pada manajemen rumah sakitnya, namun terletak pada petugas medis yang bekerja pada RS tersebut. Dengan adanya tindakan diskriminasi tadi, banyak pengguna BPJS yang merasa dirugikan.
Beberapa minggu yang lalu, ada seorang bapak-bapak yang sedang sakit dan harus dirawat di RS Umum, beliau Pak Anto, seorang PNS mendapatkan fasilitas yang dulunya dikelola oleh PT. Askes Indonesia dan sekarang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Fasilitas ini sangat membantu, karena biaya RS menjadi lebih ringan yang sebagian biaya bisa tercover oleh BPJS Kesehatan. Namun berbeda lagi jika menggunakan fasilitas BPJS terutama dalam segi pelayanan RS.
Pak Anto tidak cepat ditangani oleh pihak tenaga medis RS hanya untuk mendapat ruang rawat, akhirnya beliau menunggu di UGD hampir setengah hari.
Setelah menunggu selama itu, Pak Anto yang seharusnya berada di kelas 2, akhirnya beliau mendapatkan ruang rawat inap yang bukan sesuai kelas fasilitas BPJS Kesehatan, melainkan dapat kelas 3. Kemudian, istrinya berdiskusi dengan pihak RS tentang apa yang terjadi.
Lalu, pihak RS mengatakan jika kelas 2 penuh dengan pasien jadi beliau tidak kebagian kamar. Karena dari pihak keluarga tidak terima terutama istrinya, beliau menggunakan jalur umum non BPJS. Hanya menunggu beberapa menit saja beliau langsung dapat kelas 2 dan ditangani dengan cepat. (Fajar Qolby Laily, 2018)
Lain lagi dengan kasusnya Kayla dan Nayla, anak usia 14 tahun, pasien BPJS yang menunggu lama untuk mendapat tindakan operasi amandel yang harus segera dilakukan karena amandel sudah membesar. Pada 6 februari 2023 nama kedua anak tersebut masuk daftar untuk tindakan operasi.
Pihak RS menjanjikan dalam dua hingga empat minggu akan memberitahu kapan operasi dilakukan. Namun, hingga tanggal 6 Maret 2023 tidak ada informasi lanjutan. Pak Cahyadi selaku orang tua anak kembar tadi tidak terima, akhirnya beliau komplain ke pihak RS, katanya masih ada enam urutan lagi sebelum si kembar, lalu beliau terheran kenapa tidak ada kabar selama satu bulan, nakes itu juga bilang kalau operasi si kembar tidak bisa barengan, padahal rekomendasi dokter sebelumnya harus bersama.
Pak Cahyadi lebih memilih untuk menunggu sampai sepekan, akhirnya beliau menghubungi pihak RS lagi untuk menanyakan kepastian operasi si kembar, di situlah beliau tahu kalau anaknya berada di urutan ke-20, dan ternyata jatah si kembar diselak-selak mulu. Penundaan tersebut membuat kondisi si kembar semakin parah. (BBC News Indonesia, 2023)
Dari dua kasus tersebut dapat dikatakan, mengapa pelayanan BPJS Kesehatan dianaktirikan? Karena perbedaan nilai upah tenaga medis yang merasa rugi bila melayani pasien BPJS kesehatan yang mengadakan kontrak dengan rumah sakit, dibanding dengan nilai upah pasien umum lebih besar.