WANITA, Tidak boleh berpendidikan tinggi??
"Buat apa sih sekolah tinggi-tinggi kalo akhirnya khidmah ke suami??"
Salah satu ungkapan yang sering masyarakat lontarkan ke wanita yang menuju tahap pendewasaan. Mereka beropini bahwa wanita yang berada di fase ini dianggap sudah matang dan layak untuk menikah. Lantas, apakah wanita tidak boleh pintar? Tidak berhak berpendidikan tinggi? Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 2 dijelaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dalam kandungan ini tidak ada pengecualian untuk wanita. Wanita tidak hanya sekedar cantik dan feminim, tetapi harus cakap dan cerdas.
Selain itu, faktor budaya dan nilai-nilai yang dianut juga berpengaruh bagi masa depannya. Hal ini menyebabkan wanita enggan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, membuat setiap individu termasuk wanita yang cenderung disepelekan dan dipandang sebelah mata di tuntut untuk mengikuti perkembangannya. (Tenista Deril Aisyah, 2021)
Tidak boleh berpendidikan tinggi malah menikah dini?
Citizenship now represents a complex set of relationships; and can be highly differentiated. Cultural communities have become political entities; sometimes the public sphere is carved among them. (Ghai, 2008).
Seperti yang kita ketahui, di Indonesia marak stigma-stigma terhadap wanita berpendidikan tinggi, terutama bagi masyarakat desa. Kebiasaan mereka adalah menikahkan putrinya ketika lulus sekolah berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun, karena dirasa tindakan mereka tidak menyeleweng dengan konstitusi Indonesia, mereka melestarikan kebudayaan ini sampai melarang wanita sekolah lagi. Ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita, karena dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. (Poezan, 2021) Oleh karena itu, terjadi revisi Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 ke Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berbunyi, "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun." (disdukcapil kobar) Perubahan usia ini diharapkan dapat menurunkan angka kelahiran dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu, kita juga dapat mendukung orang tua dan mewujudkan hak-hak anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya, termasuk memberikan anak akses terhadap pendidikan setinggi mungkin. Selain mendapat dukungan dari luar, seharusnya dari diri wanita tersebut juga harus muncul rasa mau dan mampu, jangan sampai pendidikan kita tertinggal jauh dengan pria, karena ruang publik wanita juga sudah setara, lebih bebas, terbuka lebar, bebas berkarya, dan bebas meraih pendidikan.
Pentingnya ilmu bagi wanita
Setiap orang pasti meninginkan masa depan yang cerah, karir yang melejit, upah dari hasil jerih payah, terlebih wanita di zaman ini, tetapi bagaimana jika masyarakat desa berasumsi kalau sejatinya wanita berada di rumah? Seperti dawuh mbah Moen:
Setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah berdiam di rumah, bayaran termahalnya adalah ridlo suami, prestasi terbesarnya adalah ketika mampu mencetak anak sholeh dan sholihah. (KH. Maimoen Zubair)