Lihat ke Halaman Asli

Dikala Ketakmampuanku Bercerita dan Tertawa di Jalan Ini

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku meninggalkan cerita yang kutuliskan kala pagi belum sempat membasuh wajahnya dan akan melakoni parade yang disuguhkan senja kala ia telah menyelesaikan tenunan untuk bidadari bernama purnama. Cerita yang kutinggalkan akan mengisi senjaku dan tiada pernah meninggalkan aku meskipun suara parau burung hantu membuyarkan doaku. Meskipun ia telah bersedia untuk selalu menemaniku pada malam yang terkadang agak membingungkan namun masih ada keterlukaan. Keterlukaan akan hadirnya, akan cerita yang tergiang di benakku,dan akan kisah yang tertawa di kesendirianku.

Tuhan ampunilah aku yang telah menyeka senyum diwajah-Mu. Engkau memintaku untuk mengairi lahan itu dengan air yang secukupnya dan memberi makan kuda-kuda putih itu dengan rumput-rumput hijau namun aku selalu melalaikannya. Maafkan aku yang tak mampu untuk menjadi pelayan-Mu yang baik. Adakah Engkau masih menungguku dan mengundangku untuk menikmati senja sambil membicarakan kisah angin timur dan angin barat? Pada tidurku Engkau berbisik Barangkali dia akan berenang di laut dangkal dimana ia mampu mendengar perbincangan karang berlumut dan dentingan nakal dari buih gelombang. atau ia akan memecah bersama gelombang di bibir pantai? Di sana ada sedih yang berjemur, di sana ada lara  yang berenang namun di sana juga ada cinta yang sedang memasak untuknya. Kata ini menguatkan aku untuk melanjutkan cerita yang telah kugubah judulnya menjadi Di flamboyan jingga kau terduduk lemas sambil menatap gerhana siang yang memikul setangkai kabut. Dalam pusaran musim panas kau melukis peluh yang membasahi pelupuk sungai yang keruh oleh jeritan para perempuan gunung.

Aku tahu bahwa akan ada yang terluka karena aku mengubah judul ceritaku namun aku harus tetap tegar dan kuat untuk menghadapi setiap tangisan yang ditujukan kepada ku. Adakah hati yang menantiku dan melemparkan senyuman kala hari terasa begitu menyesakan? Masihkah diri ini terkekeh pada badai yang berkecamuk? Pertanyaan-pertanyaan ini tertambat di benakku kala aku mulai menata dan merencanakan cerita baruku. Segala upaya aku lakukan untuk mengusir ide itu dari benaku namun ketersiksaan yang berhilir-mudik dalamku. Alasan aku menata dan merencanakan cerita tersebut bukan terletak pada keenggananku untuk menuliskan cerita yang lama tetapi lebih kepada rasa dan nalar yang sudah tak mampu lagi untuk mengadakan petualangan di dunia abjad untuk merangkaikannya menjadi cerita. Pada malam aku berdoa agar ide tersebut terbang dan merana di padang sana namun ia tetap setia padaku tanpa sedikitpun meninggalkan aku. Keadaan ini menyebabkan aku dalam kenelangsaan sehingga jeritan laba-laba di sudut kamar menimbulkan kengerian. Terapi matahari juga tidak mampu untuk menghilangkan virus ganas di tubuhku.

Tuhan ampunilah aku yang telah menyeka senyum di wajahmu. Sembari membalikan pengalaman di masa lampau dimana cerita lama masih tersusun rapi dalam rasa dan nalar. Pada saat-saat seperti ini aku hendak mengantung ide dari cerita baruku namun selalu ada ruang kosong dalamku. Akhirnya harus ada pengakuan bahwa aku tidak sanggup lagi untuk melanjutkan cerita lama tersebut. Ceritaku maafkan aku. Di sinipun engkau masih memintaku untuk menuliskan kisah tentang engkau bahkan di jemari malam kau bersolek untuk menarik minatku. Memang aku masih ingin melanjutkan cerita tentang mu tapi rasa dan nalarku sudah tak sanggup lagi untuk melahirkan engkau dalam bentuk kalimat. Dengan rendah hati aku atas nama rasa dan nalarku memohon maaf darimu.

Kepada rumah batu yang telah menghapus kesedihan di pelupuk mataku. Aku akan selalu mengenangmu dalam keseharian. Pada koridormu ada kebijaksanaan yang berpose, pada suara loncengmu ada kasih yang tersembul, pada riak air kolammu ada kesejukan dan kedamaian yang mengapung. Aku selalu mengenang semua itu. Tiada terik yang akan mampu melapukan engkau dariku bahkan tsunamipun tak sanggup mengambil kenangan akanmu. Aku sadar bahwa kebersamaan kita akan menjadi prasasti yang tertanam di sanubariku. Meninggalkan engkau untuk menyembulkan kisah yang baru merupakan suatu ketersiksaan sebab kita telah begitu dekat. Aku teringat ketika menapakan kaki untuk pertama kali di halamanmu, di sana engkau menungguku dan memberikan senyuman sembari berkata “kitapun berusaha menyampaikan pesan dari malaikat cahaya yang menemani engkau dalam pelukan mimpi”. Kalimat ini selalu kujaga agar sesamaku mampu menerima dan memahami pesan dari malaikat cahaya tersebut. Ketika kita telah saling mengenal engkau mengajarkan tentang seni mendengarkan mawar. Pelajaran itu akan selalu menjadi pedoman bagi ceritaku yang baru dan aku selalu mengacu padanya. Rumah batu….. “kepada cita yang engkau gantungkan padaku, pada mimpi yang kau titipkan pada malamku, dan pada angan yang kau tautkan pada senjaku. segalanya itu hanya tinggal cerita dan kisah. Maafkan aku untuk kenyataan itu.”

Dikala senja semakin merapat dan hujan masih bertengger di langit aku mendengar salah seorang sahabatku berkata “engkau menambah kelam senja ini.”  Untukmu yang menuturkannya aku atas nama kisah baruku memohon maaf. Sangatlah sedih jika mendengar engkau berkata demikian. Sempat berpikir untuk meninggalkan kisah baru namun sekali lagi rasa dan nalarku tak mampu lagi untuk mengais-ngais serpihan kata kemudian membentuknya menjadi kisah lamaku. Sekali lagi aku memohon maaf. Aku sangat menghendaki kebersamaan kita, kebersamaan tanpa senyuman palsu dan aku sangat ingin menggenggam tawa bersama kalian. Bersama menarikan tarian pelangi, membaca pergerakan huruf, bersama menenun di bawah hujan, dan berjalan pada lembah tanpa hiruk pikuk peradaban. Aku pun sangat ingin untuk bercerita tentang kembang anyelir yang telintas di benak, tentang suara dari para pencari malam yang berdengung pada kicauan burung hantu, dan tentang kalian yang tiada meninggalkan aku pada musim yang begitu membingunkan namun rasa dan nalarku tak sanggup lagi. Maafkan aku para sahabatku. Namun aku tahu bahwa kita masih bersama melukis di antara getaran warna, kita menekuni setiap metafora yang bertautan dan kita mengabarkan pada anak kecil tentang petualangan para penabuh genderang yang berada di baris terdepan sebuah pertempuran dewa. Satu pintaku, jika kalian telah sampai di sana tolong kirimkan setitik cahaya agar malam tidak begirtu menyeramkan untuk dilewati karena hanya ada sebatang lilin disini dan mungkin hanya bertahan sesaat. Sahabatku, pada raga mu kutitipkan kisah lamaku, jagalah juga permata yang telah Ia sematkan kala waktu masih berantakan. Hujan telah berhenti beraktifitas namun ia masih meninggalkan bekas yang selalu mengingatkan kita padanya semoga akupun mampu meninggalkan kesan yang membuat kalian  mengingatkanku. sebatang pohon yang dibasahi oleh hujan berbisik pada sepoi tentang cerita yang ditinggalkan hujan baginya. Aku tidak menghendaki wajah suram pada kalian, tataplah aku sebagai aku yang sama seperti hari kemarin.

Keheningan senja masuk melalui jendela kamarku, menemani aku yang terduduk menatap hari kemarin dan hari ini yang terbentang di depanku. Aku tahu bahwa aku telah melepaskan sebuah permata yang tersemat di dadaku. Disini, ada kalimat yang tersusun untuk hari esok dan mungkin ada permata baru yang akan disematkan di dadaku namun aku tidak akan pernah melupakan permata pertamaku. Cinta pertama akan tetap bersamaku. Mengharapkan esok masih mampu berbagi denganku. Yakinku bahwa esok akan kembali menggandeng tanganku. Kita memang berbeda dalam waktu namun kita sama dalam rasa.

Kepada sekalian yang telah menyusuiku kala aku masih balita, kepadamu hanya ada kata maaf dan terima kasih karena aku tak sanggup membalas semua jasa yang telah kau berikan padaku. Maaf juga karena aku tak mampu lagi menyanyikan kidung yang selalu kita dendangkan pada saat pelangi menampakan dirinya di antara cemara. Namun akan tetap terngiang di dalam jiwaku dan akan tetap terpartri sepanjang nafas masih bersahabat denganku. Meskipun aku tidak bernyanyi dengan kalian tetapi aku masih tetap bernyanyi ketika pelangi muncul di antara cemara. Pada saat itu kita akan bertemu dan nyanyian kita menggema di angkasa. Di angkasa sana nyanyian kita saling meleburkan dirinya kemudian membentuk suatu bintang di angkasa malam. Menurut cerita yang telah mengakar di masyarakat kampungku bahwa ribuan bintang yang bergantungan di angkasa malam merupakan penjelamaan dari setiap nyanyian yang didendangkan pada saat pelangi sedang bercerita dengan jalinan hujan yang terahkir. Keduanya saling membagi cerita perjalanan yang telah mereka tempuh, dimana hujan akan bercerita tentang takdir yang membawanya pada samudra dan pelangi akan bercerita tentang dua gunung yang saling memberikan dirinya ketika ia menghampiri mereka. Pagi tidak pernah berkeluh ketika siang mengganti kesejukannya dengan kegerahan. Lantas ia menyerahkannya dengan ketulusan sebab ia sadar bahwa siang tidak mengambilnya dengan suatu paksaan. Begitulah kalian memberikan diri untuk merawat aku. Mampukah kemanusiaanku akan menunjukan bahwa pemberian kalian tidak akan sia-sia? Pada malam yang menenun kesejukan untuk dikenakan pagi akan aku nyanyikan hymne kalian. Akan aku rajut peluh yang hilang selama kebersamaan kita kemudian membentuknya menjadi patung sebagai kenangan akan kebersamaan. Di antara malam dan pagi aku membagikan kehangatan siang yang telah kalian sematkan di dadaku.

Aku sadar bahwa kesendirian telah menunggu untuk menggandeng tanganku. Haruskah  menghindar darinya? Tidak! Aku bukan seorang nelayan yang pergi melaut tanpa mempersiapkan peralatannya. Bagaimanapun juga aku telah menguasai takdir sehingga menghindar darinya merupakan pengkhianatan. Mungkin takdir hanyalah konsep yang tercipta dari orang-orang yang tidak mampu tersenyum pada kegerahan siang dan malam yang berwarna ungu. Bagiku; takdir bukanlah tuan atas diri ini tetapi kepada kehidupanlah aku harus mengabdikan diri. Hal ini tidak berarti aku menjadi budak darinya, dalam ini kami bersama-sama mengabdikan diri antara satu sama lain agar jagat yang telah dijadikan ini semakin menunjukan keindahannya.  Pergi untuk melakoni parade yang disuguhkan senja kala ia telah menyelesaikan tenunan untuk bidadari bernama purnama memang bermula dari kebingungan. Ketika berserah dalam kebingungan berarti aku telah menyelesaikan adegan pertama dari parade itu. Setelah melewati adegan pertama maka alur dari parade tersebut telah menunjukan rupanya. Segala yang terlahir dari kebingungan merupakan formula untuk menciptakan keindahan yang abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline