Lihat ke Halaman Asli

Simon Sutono

Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Lebak Dano, Lebak Wa Minah

Diperbarui: 30 Juli 2022   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

           "Awaaas!" Aku berseru pada temanku yang sedang berendam di jeram dangkal Lebak (sungai) Dano. Aku yang sedang meluncur tidak mau menghantam mereka. Air dengan volume cukup besar dengan arus yang keras memberikan ketegangan tersendiri. Tentu jangan samakan sungai ini dengan sungai-sungai di pulau seberang yang bisa dilalui kapal. Lebak Dano penampakannya seperti sungai-sungai di pegunungan di Jawa Barat tempat dimana orang bisa beraktivitas dengan aman. Lebak inipun pun demikian, aman untuk kami bocah-bocah bermain air dan menyelam di bagian jeram yang dalamnya sepinggang. Ke jeram itulah kami tercebur setelah sebelumnya meluncur pada peluncuran batu yang halus karena tergerus arus. Arus air terus mengikis dan menghaluskan dasar sungai dari batu sehingga tidak  mencederai pantat. 

             Lebak Dano dan Lebak Wa Minah sebenarnya mengarah pada lebak yang sama. Disebut Dano karena lebak ini melewati dusun Dano dan ketika lebak ini melewati lahan warga sekitar bernama Wa Minah, maka nama Lebak Wa Minah pun jamak digunakan. Pada cerita ini aku fokuskan penamaan pada Lebak Wa Minah.

             Bagi kami bocah-bocah petualang, bermain dengan seluncuran batu alam dan jeram merupakan bonus sebelum kami benar-benar mandi dan pulang ke rumah. Sekalipun kami harus berhati-hati untuk menuruni dan mendaki tebing yang cukup curam, kami tidak kapok untuk kembali datang ke tempat ini. Tempat ini pula menjadi alternatif bagi warga sekitar untuk kegiatan bersih-bersih ketika kali Liang Landak yang menjadi tempat pemandian dan cuci umum saat (surut) airnya.

              Pengalaman yang menyebalkan di Lebak Wa Minah ini tentu saja terkait dengan kejahilan teman bolang lainnya. Ketika kami sedang asyik-asyiknya berendam di jeram, benda kuning lonjong terbawa arus dan turut bergabung dengan kami. Tentu saja tidak ada dari kami yang tidak beranjak dari sungai. Sementara pelaku kejahilan tertawa ngakak di hulu tidak jauh dari kami. Sebut sama Somad, nama pelaku itu tampak bahagia di atas kesebalan orang lain.

               Kegembiraan bertualang di tempat ini juga kurasakan ketika bersama dengan beberapa teman sekelas - Juanda galing, Haris, Andi dan Unang - menyusuri daerah hilir Lebak Wa Minah. Saat itu Unang membawa jaring net ukuran lumayan besar. Dengan instruksinya kami memegang sisi net dan menyisir genangan air curug (air terjun) pendek untuk menangkap Ikan. Upaya menyusuri lebak dari curug ke curug stroke out alias nihil. Di kesempatan lain kakakku, Aa Anton dan saudara jauh kami, Darju, mengajak memancing ikan di salah satu curug di lebak Wa Minah. Di saat itu pula aku baru tahu bahwa umpan yang digunakan adalah cacing yang kami banyak temukan pada gebog cau (batang pohon pisang) yang mulai membusuk. Ketika gebog ini dibongkar maka kami panen cacing yang nantikan akan dipasangkan di mata kail. Dari kegiatan memancing ini kami dapatkan ikan gabus yang lantas digoreng ketika pulang.

               Selain sebagai tempat bersenang-senang, di Lebak Wa Minah aku juga terlibat usaha ayahku untuk memperbaiki kandang ternak. Salah satu material yang dibutuhkan untuk perbaikan ini adalah pasir. Atas suruhan ayahku, aku membantu mengeruk dan mengumpulkan pasir dari dasar dan pinggiran lebak. Baru setelahnya ayahku memikul pasir yang terkumpul ke Pangbataan, tempat sawah dan ternak ayahku berada.

                Dari sekian pengalaman di Lebak Wa Minah, kejadian yang sangat kusyukuri adalah peristiwa berikut ini. 

                "Cicing di dieu, tong kamana-mana," perintah kakakku laki-laki. Perbedaan usia kami cukup jauh sekitar 5 tahun. Aku tidak terlalu sering bermain dengannya. Hanya saat ikut aku diikutsertakan ikut dengannya dan Samid, saudara jauh kami. Cukup jauh ke hilir dari tempat kami biasa bermain seluncuran, lebak Wa Minah  dibendung dengan tanggul yang cukup tinggi Air yang tertahan pun membentuk dam atau bendungan. Dari tempatku aku melihat kakakku dan Samid begitu menikmati berenang di bendungan tersebut. Melihat gerakan kakakku, aku berkesimpulan bahwa berenang itu tidak sulit. Hanya menggerakkan kaki dan tangan. That's it!  Maka lupa pada pesan kakakku, segera aku melepas baju dan dengan yakin mendekati pinggir lebak dan langsung melompat. Apa yang terjadi selanjutnya adalah kakakku yang mendengar suara ceburan dan melihat aku megap-megap hampir tenggelam, sigap mendekat dan menarikku ke tepi lebak. Seandainya saat itu ia tidak segera bertindak mungkin aku sudah tinggal nama. Shock dengan kejadian yang baru saja terjadi, akhirnya kami memutuskan untuk  pulang.*** (Bandung, 27 Juli 2022)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline