Aku melambatkan motor dan menoleh pada plang penjual ayam potong tidak jauh dari kantor polisi Cimahi. Rp 38.000.
"Wuih, baru dalam hitungan hari sudah naik 5 ribu. Gimana mau produksi siomay," pikirku gundah.
Kegundahanku sangat beralasan. Saat tulisan ini dibuat, dengan harga ayam potong 38 ribu, maka fillet daging ayam akan mendekati 50 ribu. Padahal, saat mengawali usaha, harga ayam di kisaran Rp 28 ribu. Belum lagi kenaikan harga minyak goreng dan bawang merah. Entah alasan apa bawang merah brebes melambung ke harga 42 ribu. Padahal di awal usaha harganya hanya 24 ribu per kilo. Demikian halnya dengan minyak goreng. Dan saat tulisan ini dibuat, telur ayam ikutan naik dari kisaran 23 ribu menjadi 29 ribu.
Dari berbagai bahan utama, daging ayam merupakan pemuncak bahan siomay ayam. Naik turunnya harga tentu berdampak terhadap produksi siomay. Aku teringat pertama kali menjajaki usaha ini aku dan istriku membandingkan harga ayam potong di beberapa pedagang di pasar. Baru setelahnya kami check harga di tempat lain. Ternyata di tempat lain kami bisa dapatkan harga ayam potong yang lebih murah. Hanya, mereka tdk menyediakan fillet. Alhasil berbekal pengamatan, aku meniru pedagang daging ayam. Lima kilo daging ayam aku fillet! Wah, ternyata bukan pekerjaan mudah.
Memfilet sendiri daging ayam dalam rangka menekan biaya tidak tanpa masalah. Selain menyita waktu, tulang ayam yang dihasilkan perlu perlakuan. Semula tulang-tulang tersebut kurebus untuk mendapatkan kaldu ayam dan jadi bahan masakan - bubur, kari dan masakan berkuah lainnya - ataupun jadi campuran masakan seperti seblak. Namun, freezer kulkas di rumah daya tampungnya terbatas. Jadilah kami memutuskan membeli daging ayam fillet.
Petualangan kami berburu daging fillet cukup membekas. Di satu akhir pekan aku dan istriku menerobos kegelapan melaju sepeda motor menuju pasar malam tradisional terbesar di Bandung, Pasar Ciroyom. Luar biasa. Itulah pendapatku tentang pasar ini. Menyambangi tempat ini, kuibaratkan Ciroyom sebagai surga bagi penggemar seafood dan daging-dagingan. Di tempat ini pula berbagai bahan masakan yang jamak ditemui di rumah makan padang tersedia melimpah. Aroma rempah masakan padang menguar di sayap kiri pasar Ciroyom setiap malamnya. Tumpukan kelapa-kelapa yang akan diparut dan deretan kios dengan dengungan mesin pemarut kelapa mendominasi sayap ini. Demikian juga dengan percakapan dengan bahasa yang kuduga bahasa Minang bersaing dengan suara hujan. Beruntung kami sudah tiba di pasar sebelum hujan. Karena hujan ini pula kami tertahan di pasar dan 'dating' menghabiskan waktu keliling pasar.
Kunjungan pertama ini berlanjut dengan kunjungan-kunjungan berikutnya. Bermodalkan kemauan bertanya, kami membandingkan harga di beberapa penjual dan mendapatkan harga yang paling kompetitif. Dari penjual ini pula kami dapatkan pelayanan paling ramah dan satu hal yang tidak kalah penting, lapak buka lebih awal. Ketika keumuman penjual lainnya masih mungkin rehat, penjual yang satu ini sudah melakukan transaksi. Alhasil dengan hanya menunggu beberapa jam setelah jam kantor usai, aku bisa langsung menuju pasar yang jaraknya tidak jauh dari sekolahku. Mendapatkan harga bahan baku yang paling murah membuat usaha di tahap rintisan ini mampu bertahan. Menaikkan harga siomay bukanlah pilihan tepat dalam tekanan naiknya harga bahan baku. Yang mesti kami lakukan adalah menggenjot penjualan, keterampilan baru yang mesti kupelajari .*** (Bandung, 10 Juni 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H