Turun dari angkot kuning biru Ledeng Margahayu, Tuanku menyeret kami lesu. Gundah. Itu yang kupikir Tuanku rasakan. Tidak seperti biasanya, aku dan kembaranku dibiarkan berlambat-lambat menuju biara Sultang Agung.
"Pastor, apakah sore ini ada waktu? Boleh saya temui?"
Selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut Tuanku saat menelepon rohaniwan katolik yang menjadi sponsor studinya. Setelah mengembalikan gagang telepon umum pada tempatnya, ia mengarahkan kami untuk menuju pelataran Pentagon, gedung pusat kegiatan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni dan duduk di pelataran, mengeluarkan sehelai kertas dari tas. Print out nilai. Tertera capaian perkuliahan semester genap. Dua nilai yang menyesakkan Tuanku: nilai listening dan speaking.
"Harus ngomong apa?" Tuanku bergumam ketika tersadar ia sudah mendekati biara. Perjalanan dari perhentian angkot ke biara yang biasanya kurang dari sepuluh menit, menjadi setengah jam. Dan sekarang aku dan kembaranku sedang bertekuk sejajar dengan meja tamu.
"Selamat sore Pastor," sapa Tuanku seraya berdiri saat sosok yang ditunggunya memasuki ruang tamu.
"Selamat sore, Simon. Lama tak jumpa ya," jawabnya seraya mendekati kursi. Tuanku menyorongkan tangan mengajak berjabat tangan.
"Mau cerita apa?" tanya rohaniwan tersebut. Tuanku tak langsung menjawab. Sambil menentramkan dadanya yang bergemuruh tuanku mengambil transkrip nilai dari tas dan menyodorkannya pada rohaniwan tersebut.
Tuanku tidak bisa menebak pikirannya. Raut mukanya tidak berubah.
"Saya minta maaf masih ada nilai D. Saya belum berhasil di dua mata kuliah tersebut," kata Tuanku lirih.
Rohaniwan itu mengangguk-angguk. Ia menatap tuanku yang langsung menunduk tidak berani bersiborok dengan tatapan lawan bicaranya.
"Mungkin kamu membutuhkan alat bantu. Coba apa yang kamu perlukan?"