"Seberapa lama lagi kita harus menunggu?" keluhan meluncur dari mulut kembaranku. Aku bisa memaklumi kekesalannya karena akupun merasakan demikian. Sudah tiga kali Tuanku mengitari kompleks perumahan elit di Ciumbuleuit ini. Keputusannya untuk datang lebih awal tidaklah salah. Tentunya agar tidak terlambat ketemuan dengan Mrs. M.
"Nekad juga, ya Tuan kita," kembaranku berucap.
"Kayak kamu tidak tahu Tuan kita saja," tukasku, "Ingat ketika kita dipaksa jalan dinihari dari terminal bis sampai rumah? Dua jam setengah kita dipacu? Aku sih keder saat itu melewati ladang tebu, bamboo, pekuburan. Cukup sekali itu saja! Atau jalan tengah malam dari kost-an sampai Jalan Merdeka? Hanya untuk ikut menghitung mundur pergantian tahun?"
Kembaranku tersenyum kecil. "Aku empot-empotan saat itu," ujarnya. "Tahu sendiri aku takut kegelapan."
"Kalau sekarang sih sebenarnya tidak ada apa-apanya. Cuman keliling-keliling kompleks ini sampai tiga kali." Aku mengulang keluhan kembaranku.
"Masalahnya dia tidak bawa bacaan. Jadi saja kita yang dikerjain. Nih betis kayaknya mau keram. Beberapa hari ini Tuan kita kurang gerak ya."
Aku mengangguk mengiyakan. Di sela kesibukan kuliah dan menggeluti perannya di perpustakaan gereja, Tuanku tidak sering bepergian. Jadinya kami juga merasa kaku. Sekalinya sekarang diajak berjalan-jalan, otot-otot kami rasanya kurang kompromi.
"Oya, memang benarkah Tuanku janjiannya hari ini? Kok kayaknya rumah itu tidak berpenghuni. Tidak ada bel lagi di pagar." Apa yang dikatakan kembarannya sepertinya benar.
Rumah tusuk sate di Jalan Rancabentang itu besar dan berhalaman luas. Berpagar dan bergerbang bambu, rumah itu berbeda dengan rumah kebanyakan. Model rumah jaman dulu dengan salah satu dinding depan melengkung. Rumah satu lantai ini berjarak cukup jauh dari gerbang hingga siapapun yang bertamu akan kesulitan memastikan penghuni ada di rumah. Tuanku pun kesulitan karena tidak nampak ada kegiatan di balik pagar. Sementara tidak ada tanda bel di pintu gerbang.
Hampir lima belas menit Tuanku berdiri di depan gerbang. Ia coba menggedor gerbang bambu tanpa hasil. Tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Untuk sesaat ia merenung dan menggerakkan kami menjauh dari pagar. Semula aku kira ia akan meninggalkan tempat itu. Perkiraanku salah. Ia hanya menyeberang jalan mencari tempat teduh dan berdiam diri.
"Kenapa tidak bawa buku?" keluhnya. Kembaranku menatapku seakan ingin menegaskan apa yang ia ucapkan sebelumnya tentang buku.