Mobil angkutan pedesaan yang kutumpangi dengan salah satu kerabat jauhku tiba di kota Kuningan. Dengan tujuan yang sama kami hendak membeli koran Pikiran Rakyat untuk mengecek hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kerabatku itu lebih muda 1 tahun. Jadi dia fresh graduate SLTA sementara aku menganggur 1 tahun. Sesuai dengan kesepakatan kami akan membeli koran dan tidak langsung mengecek hasilnya. Kami akan mengecek ketika tiba di rumah dengan alasan agar lebih leluasa dan tenang. Maka setelah membeli koran, kamipun langsung menaiki mobil angkutan pedesaan yang akan membawa kami kembali ke desa.
Bisa dibayangkan perasaan kami selama perjalanan. Antara penasaran, khawatir, takut dan berharap. Kami tidak banyak bicara. Masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing. Sepertinya campuran berbagai perasaan tersebut mengerem kami untuk bercakap-cakap. Rupanya, aku kalah sabar dibandingkan kerabatku. Ketika mobil menaiki tanjakan di sekitar Balong Girang, kolam ikan besar, aku membuka koran dan mencari-cari namaku. Dan.... namaku tercantum!! Artinya aku lolos UMPTN. Bisa dibayangkan rasa girang yang membuncah. Melalui perjuangan yang tidak mudah, aku diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Bandung. Sayangnya, nama kerabatku tidak tercantum.
Status mahasiswapun kusandang. Pengalaman kost di kamar ukuran 2 kali 3 meter dengan dapur dan kamar mandi umum tidak terlupakan. Orientasi mahasiswa baru dengan tugas-tugas yang dimasa sekarang dianggap sebagai kesia-siaan juga kualami. Beragam pengalaman itu tentu tidak dilepaskan dari satu hal ini: bea siswa Pendidikan. Aku akan terus mengenang sang rohaniwan katolik yang setiap awal semester kutemui untuk menunjukkan transkrip nilai dan mendapatkan dana kuliah. Tanpanya, jalan hidupku pasti berbeda. Dalam hal tertentu mungkin karena doanya pula bahwa aku mendapatkan kesempatan yang lebih besar lagi: cuti kuliah satu tahun. Tentu dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam salah satu kelakarnya, di semester 1 beliau mengucapkan sepertinya aku harus ke Inggris untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris ketika melihat dua nilai D bertengger untuk mata kuliah listening dan speaking. Kelakar yang tidak kuanggap serius ternyata di kemudian hari menjadi kenyataan ketika akupun berkesempatan ke Jerman dan Amerika. Untuk apakah? Tentunya akan lebih seru bila kuceritakan di tulisan selanjutnya. Pengalaman mengunjungi dua negara ini pun pastinya sangaat kusyukuri.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H