Lihat ke Halaman Asli

PENUNDAAN PILKADA SERENTAK,KENAPA?

Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti yang diberitakan diberbagai media massa bahwa KPU saat ini berniat melakukan penundaan PILKADA Serentak bagi daerah yang dalam PILKADAnya nanti hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. Sebagai kita rakyat Indonesia yang berniat membangun daerah maka kita harus mendukung langkah penundaan dari KPU tersebut dikarenakan langkah KPU tersebut sudah sesuai dengan UU No.8 Tahun 2015 yang mengamanatkan bahwa pelaksanaan pilkada haruslah dengan dua pasang calon kepala daerah, disisi lain UU No.8 Tahun 2015 ini telah dipertegas melalui PKPU NO.12/2015 Pasal 89 dengan motivasi untuk menyelamatkan proses demokrasi ditingkat lokal. Selanjutnya, dalam perspektif saya sebagai penulis, jika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam pilkada tanpa ada saingannya, maka untuk apa pilkada itu diselenggarakan? Sementara seperti yang kita ketahui bersama bahwa kepanjangan pilkada ialah Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dalam artiannya kita diharapkan untuk memilih calon kepala daerah yang terbaik diantara yang terbaik secara langsung.
Dengan adanya penundaan pilkada serentak dikarenakan hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pilkada justeru membuktikan bahwa demokrasi kita dalam bahaya dan lemahnya rekruitmen parpol dalam menyiapkan dan menyediakan calon pemimpin bangsa ini sekaligus membuktikan  juga bahwa parpol tidak mampu untuk berkompetisi dalam pilkada.


Ruang Demokrasi Adalah Ruang Rakyat


Demokrasi itu adalah suatu tatanan pengurusan warga, dari warga, oleh warga dan untuk warga atau suatu tatanan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan oleh karena itu mulai dari Kepala Kampung, Bupati/Walikota, Gubernur, dan Presiden itu adalah wakilnya atau pelayannya rakyat. Didalam tatanan demokrasi modern bahwa wakilnya rakyat ialah lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat. Makna mendasar dari demokrasi itu adalah tidak boleh terjadi proses bagaimanapun yang merugikan rakyat. Dalam kenyataannya saat ini munculnya polemik mengenai satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pilkada tanpa ada saingannya, justeru sangat merugikan rakyat sendiri karena rakyat terkesan dipaksa, diarahkan dan difokuskan hanya untuk memilih satu pasangan calon sehingga rakyat mau tak mau hanya memilih satu pasangan calon tersebut, padahal diluar satu pasangan calon tersebut masih banyak putra/i Indonesia yang terbaik dan pantas menjadi kepala daerah. Disisi lain, jika pilkada nantinya diisi hanya satu pasangan calon kepala daerah justeru itu juga bentuk pembatasan ruang gerak rakyat untuk mengenal sosok pasangan calon kepala daerah yang lebih baik dari calon tunggal tersebut.

Calon Tunggal  Berbahaya Bagi Demokrasi Tingkat Lokal


PKPU NO. 12/2015 yang baru saja diterbitkan pada 16 Juli 2015 itu menyebutkan jika calon kepala daerah tetap hanya satu (calon tunggal) setelah perpanjangan pendaftaran tiga hari, maka seluruh tahapan dihentikan dan ditunda pada pilkada serentak berikutnya pada 2017."  Pada pasal 89 ayat 1 PKPU 12/2015 berbunyi "Dalam hal sampai dengan akhir masa pendaftaran pasangan calon hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon atau tidak ada pasangan calon yang mendaftar, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga) hari." Selanjutnya, pada ayat 2 pasal 89 berbunyi "Dalam hal sampai dengan berakhirnya perpanjangan masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya." (Baca: http://kpu.kebumenkab.go.id/berita-261-pkpu-no-12-tahun-2015-sbg-perubahan-atas-pkpu-9-tahun-2015-ttg-pencalonan.html)
Menurut Wapres, jika tidak dibuat PKPU Nomor 12 tersebut, dikhawatirkan calon tunggal dari Partai Politik akan berusaha menguasai Partai Politiknya bernaung. Dan akan berujung kepada keinginan calon itu untuk maju sebagai calon tunggal secara terus menerus.
"Ya pasti Plt akan senang juga jadi Plt lama-lama supaya dia jabat bupati atau wali kota atau gubernur. Dia bisa menjadi lebih murah pilkadanya kan sehingga rakyat tidak punya pilihan, tidak demokratis lagi," tambah JK.
Wapres menambahkan, jika tidak adanya PKPU Nomor 12 itu, akan terjadi pola kekuasaan dengan cara-cara money politic  untuk melanggengkan calon tunggal kembali berkuasa. "Uang yang jalan atau apapun yang jalan, faktor x yang jalan. Penguasaan yang jalan. Terjadilah pola kekuasaan," tutup JK. (Baca: http://m.nasional.rimanews.com/politik/read/20150727/225486/JK-Peraturan-KPU-Mengecewakan-Tapi-Harus-Ditaati-)
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai, munculnya fenomena pasangan tunggal calon kepala daerah di sejumlah wilayah, merupakan salah satu skenario untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak yang akan diselenggarakan akhir tahun ini. Pasalnya, beberapa waktu lalu juga sempat muncul upaya penundaan itu. (Baca: http://nasional.kompas.com/read/2015/07/24/09342951/Pengamat.Calon.Tunggal.Skenario.Tunda.Pilkada.Serentak    )

 

Kaderisasi Parpol Gagal Dan Nol Kompetisi


Munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah serentak 2015 sungguh ironis. Seharusnya partai politik bertanggung jawab melakukan kaderisasi untuk calon kepala daerah.
Pengamat Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), Imam Nasef berpendapat bahwa "Tentu sangat ironis apabila sebuah daerah hanya memiliki calon tunggal dalam pilkada. Defisit kepemimpinan itu menjadi tanggung jawab partai politik sebagai entitas yang berfungsi melakukan regenerasi kepemimpinan."
Menurut Nasef lagi, jika sampai terjadi hanya ada calon tunggal pasangan kepala daerah di suatu daerah, maka partai politik dinilai gagal melakukan regenerasi kepemimpinan.
Secara yuridis ketentuan mengenai penundaan pilkada di daerah yang hanya memiliki calon tunggal dapat dipahami sebagai upaya menguatkan demokrasi di daerah. Bagaimana mungkin sebuah pemilihan dinilai demokratis apabila calonnya tunggal. (Baca: http://m.tribunnews.com/nasional/2015/07/27/pengamat-calon-tunggal-di-daerah-bukti-kaderisasi-parpol-gagal)
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai bahwa dengan munculnya satu pasangan calon tunggal dalam pilkada, secara tidak langsung menunjukkan kegagalan partai politik dalam menciptakan kompetisi saat pilkada. Padahal, hal itu dapat dicegah lantaran parpol memiliki waktu yang cukup untuk membangun komunikasi politik dengan parpol lain di daerah.
"Kalau calon tunggal, tidak akan ada kompetisi. Kalau sudah begini parpol yang paling bertanggungjawab.” (Baca: http://nasional.kompas.com/read/2015/07/24/09342951/Pengamat.Calon.Tunggal.Skenario.Tunda.Pilkada.Serentak  )

Jangan Salahkan Rakyat "Golput" Karena Tak Suka Dengan Calon Tunggal di Pilkada


Pemilih dalam pilkada tidak bisa diarahkan, difokuskan, dan dipaksa untuk memilih satu pasangan calon dalam pilkada karena rakyat punya hak memilih pemimpin yang dikehendakinya.
Belum tentu rakyat suka dengan calon tunggal tersebut karena rakyat sebagai manusia yang memiliki akal dan pikiran dapat membentuk persepsi sendiri tentang orang lain. Dan belum tentu calon tunggal tersebut merupakan kriteria pemimpin yang dihatinya.
Apabila terjadi ketidaksukaan rakyat kepada calon tunggal kepala daerah tersebut maka rakyat berhak untuk tidak memilih karena rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang dikehendaki dan sesuai kriteria yang dihati rakyat itu sendiri.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline