Lihat ke Halaman Asli

Konsep Otonomi Daerah, Good Governance, dan Reinventing Government dalam Pembangunan Daerah

Diperbarui: 4 April 2017   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Reformasi berarti menata ulang dalam rangka perbaikan negara, hakekatnya melakukan perbaikan pada tiga unsur dasar kehidupan bernegara yaitu: (1) Sistem (Konstitusi dan Sistem Hukum Nasional); (2) Pemerintah/Penyelenggara Negara dan (3) Rakyat/Masyarakat.
Reformasi sistem diperlukan, karena sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mendasarkan pada konstitusi perundangan sebelumnya terutama produk-produk pemerintah  ORBA yang sentralistik sudah kurang cocok dengan dinamika perkembangan masyarakat. Reformasi penyelenggara pemerintahan mutlak diperlukan, karena pemerintahan masa lalu mengandung berbagai penyakit berat yang menghancurkan negara seperti KKN dan berbagai masalah moral lainnya. Masyarakat/rakyat juga harus direformasi karena adanya keadaan dan perilaku yang tidak sehat seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidaksabaran/emosional. Reformasi harus bertanggung jawab pada tiga tataran tersebut secara komprehensif, sistematis, dan konstitusional.

Dalam era reformasi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah. Pertama adalah UU No.22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Paket kebijakan otonomi daerah pertama dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie dengan maksud mengubah pola otonomi daerah yang sentralistik (UU No.5/1974 Produk Orba) kearah yang lebih demokratis.

Dalam perjalanannya sesuai dengan kebutuhan demokrasi dan pembangunan daerah, UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 telah dinilai baik dari segi kebijakan dan implementasinya, dan seiring kondisi zaman ternyata UU No.22/1999 dan UU NO.25/1999 mengalami kelemahan sehingga undang-undang tersebut mengalami revisi menjadi UU.32/2004 dan UU No.33/2004.

Berlakunya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah mulai tahun 2005 karena terjadi perubahan mendasar yang menjadikan pemerintahan daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi yang luas,nyata dan bertanggung jawab tidak hanya dibidang ekonomi tetapi juga politik. Dengan demikian, perubahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan layanan publik tingkat lokal, serta sesuai dengan asas demokrasi.

Pelaksanaan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan salah satu perangkat penting dalam kerangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan secara berkelanjutan, khususnya menyangkut hubungan pemerintah pusat dan daerah. Di samping berbagai produk konstitusional dan perundang-undangan lainnya.

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jika dilihat dari semangat Undang-Undang tersebut maka tujuan otonomi daerah adalah :

  • Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat di daerah agar semakin baik
  • Memberi kesempatan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri
  • Meringankan beban pemerintah pusat
  • Memberdayakan dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan masyarakt daerah
  • Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan di daerah
  • Memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah maupun antardaerah untuk menjaga keutuhan NKRI
  • Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
  • Mewujudkan kemandirian daerah dalam pembangunan.

Dengan kata lain pemerintah ingin melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 yaitu dengan melaksanakan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Untuk itu, pemberlakuan otda dan desentralisasi, memberikan ruang (kewenangan) pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan dan program yang sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab oleh pemerintah serta melibatkan masyarakat setempat sangat berpotensi mengurangi kesenjangan yang semakin melebar disegala bidang.

Salah satu wujud kepemerintahan yang baik ialah suatu kepemerintahan yang memperhatikan dan responsif terhadap kehendak dan aspirasi masyarakat serta melibatkan mereka (partisipasi) dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut berbagai aspek kepentingan masyarakat (kebijakan publik). Masyarakat dilibatkan dan berpartisipasi dalam penyusunan program pembangunan serta pengambilan kebijakan, baik yang diambil dalam forum legislatif maupun eksekutif atau secara bersama-sama. Selain itu juga manajemen kepemerintahan dilaksanakan secara terbuka dan transparan, serta dapat dipertanggung jawabkan (akuntabel) kepada masyarakat, menggunakan prinsip-prinsip pelayanan untuk kepuasan masyarakat, efisiensi, dan efektivitas.

Lahirnya Undang-Undang Otonomi daerah tersebut memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam kepemerintahan termasuk mekanisme pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan di suatu daerah. Kalau pada waktu yang lalu pembangunan lebih banyak ditentukan oleh dan bersifat dari atas kebawah (top-down), maka setelah lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah di era Reformasi seperti sekarang ini maka peran dan tanggung jawab dalam pembangunan menjadi milik dan harus merupakan prakarsa masing-masing daerah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh pihak berdasarkan prinsip kemitraan, selaras dengan konsep kepemerintahan yang baik. Keadaan ini menuntut adanya perubahan paradigma pembangunan.

Otonomi daerah memerlukan pembiayaan yang besar yang harus dipikul dan menjadi tanggung jawab daerah, tidak dapat lagi hanya mengandalkan pemerintahan pusat. Oleh karena itu pembangunan masyarakat perlu diarahkan pada partisipasi secara luas dan kemandirian masyarakat itu sendiri. Dalam membangun suatu wilayah, Pemerintah Daerah perlu memberikan kesempatan yang lebih besar kepada sektor swasta dan masyarakat untuk berperan dan berinvestasi dalam pembangunan perdesaan melalui konsep pembangunan yang bertumpu pada kemitraan.

Pada akhir abad 20 berbagai pengetahuan dan pengalaman telah menghasilkan konsensus bahwa pembangunan berkelanjutan yang multidemensi seyogyanya menjadi prinsip pokok bagi perumusan kebijakan dan tata pemerintahan. Tata pemerintahan yang baik dicapai melalui upaya terpadu dari pemerintah daerah, masyarakat madani dan sektor swasta untuk menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan utama dari pembangunan. Kebijakan ini memang mudah untuk dinyatakan dalam ungkapan yang umum tetapi sulit sekali untuk dioperasionalkan dalam keputusan hidup sehari-hari. (Dokumen Kebijakan UNDP 1997) Ciri-ciri tata pemerintahan yang baik:

1. Mengikutsertakan semua
2. Transparan dan bertanggung jawab
3. Effektif dan adil
4. Menjamin adanya supremasi hukum
5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didarsarkan pada konsensus masyarakat
6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan

Sedangkan unsur-unsur dari tata pemerintahan yang baik adalah (Partnership for governancereform, UNDP,1997) :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline