Pilpres 2019 memunculkan beragam fenomena, salah satunya adalah kenyinyiran. Salah satu bahan kenyinyiran ini adalah penguasaan Bahasa Inggris.
Di lini massa media sosial, penguasaan Bahasa Inggris capres petahana diolok-olok dan dibenturkan dengan kemampuan lawan politik seolah-olah mereka yang nyinyir ini sungguh memiliki kemampuan Bahasa Inggris melebihi petahana atau paham sungguh kemampuan berbahasa Inggris petahana.
Padahal kalau kita lebih mampu mengolah informasi, capres petahana merupakan salah satu entreprener berorientasi ekspor dan bermitra dengan pengusaha dari luar Asia yang tentu saja tidak terlepas dari penggunaan Bahasa Inggris.
Demikian halnya dalam lingkungan keluarga petahana, sebagaimana kita ketahui kedua putranya menuntaskan pendidikan di luar negeri yang dengan sendirinya akrab berbahasa Inggris. Tentu saja pilihan pendidikan seperti ini tidak terlepas dari kemampuan dan kemauan keluarga (baca: orang tua) yang memiliki wawasan global dan visi jauh ke depan.
Dari atmosfer seperti ini jelas tergambar familiaritas petahana dan keluarganya atas Bahasa Inggris. Sayangnya, hanya karena libido politik, apapun menjadi komoditas untuk merendahkan dan mengail suara pemilu.
Bagaimana semestinya perihal Bahasa Inggris ini? Apakah hanya dikarenakan pengucapan (pronunciation) tidak layaknya penutur asli, lantas kita menyinyiri yang bersangkutan?
Penulis jelas-jelas berseberangan dengan hal ini. Memaknai esensi suatu bahasa, pada hakekatnya memaknai bahasa sebagai alat penyampai pesan. Dengan kata lain ketika seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa, komunikasi tersebut akan dianggap berhasil ketika pesan tersampaikan dan dipahami tanpa distorsi oleh lawan bicara.
Karenanya, dibandingkan komunikasi tulis, komunikasi lisan tatap muka memiliki banyak kemudahan dikarenakan tidak semata faktor bahasa yang membantu penyampaian pesan, tetapi juga intonasi, raut muka, gesture serta konteks komunikasi yang sedang berlangsung.
Esensi ini pulalah yang kerapkali penulis sampaikan kepada peserta didik di ruang kelas dalam rangka mengikis fear, takut salah yang menjadi hambatan utama peserta didik, dan barangkali kita, ketika mempelajari bahasa asing.
Ketakutan itu antara lain takut salah pengucapan, salah susunan kata, salah pemilihan kata dan berbagai ketakuatan lainnya yang berujung pada ketiadaan tindakan berbahasa. Apa penyebab ketakutan tersebut? Salah satunya adalah kenyinyiran.
Dari berkali-kali dialog dengan para peserta didik, takut ditertawakan merupakan alasan utama mereka tidak mempraktekkan Bahasa Inggris. Terbukti bahwa budaya mengolok-olok, nyinyir, menertawakan berdampak serius bagi pengembangan kemampuan seseorang termasuk kemampuan berbahasa.