Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Sang Dewi

Diperbarui: 26 Maret 2019   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita ini tentang aku dan ibuku, dua pelaku dengan aku mengikut apa kata kodrat: anak, subordinat dengan kebebasan yang terbatasi. Ya, aku dipersiapkan dengan jalan demikian. Anak siapa sih yang tidak dipersiapkan dengan cara seperti ini? Pagar-pagar yang dipancang oleh ayah dan ibu, untuk aku mengerti, sehingga kelak, manakala aku mengambil alih posisi mereka, aku tahu apa yang semestinya aku lakukan pada calon anak-anakku - mengulang sejarah. Sebagai suatu daur dengan titik pangkal yang tak jelas.

Pagi itu kembali ibu memberikan apa yang tidak kusukai: ramuan. "Jangan tidak diminum." Ujarnya tegas.

Aku menatap hampa segelas cairan di depanku. Entah untuk keberapa kali aku minum cairan itu. Dengan harapan yang tidak sepenuhnya menjadi milikku. Aku tidak kuasa menolak ibuku. Menolak berarti durhaka. Demikian yang orang katakan. Surga ada di telapak kaki ibu. Karenanya aku tak diharapkan menentang keinginannya.

Akh, benarkah aku tak punya hak itu? Benarkah durhaka adanya menentang sang ibu? Kalaupun aku boleh menentang, sejauh mana aku bisa menentangnya dan tidak menghancurkan hatinya? Lantas seberapa besar nantinya durhakaku kelak? Ingin benar aku tahu jawabannya, sehinggga aku punya daya. Daya untuk membuat batas kabut antara durhaka dan tidak. Kadang aku berharap keluar dari belahan batu. Tapi, bisakah nanti aku mempunyai hati seorang ibu, yang juga berisi kelembutan? Bukankah hatiku akan pula sekeras batu kalau aku keluar dari batu?

Aku meraih gelas, kuteguk dan kutelan isinya dalam diam.

"Suatu saat, kamu akan rasakan khasiatnya. Laki-laki tidak akan lepas pandangannya dari kamu." Ibuku berkata. Aku hanya diam. Ujung mataku melirik perawakan ibu. Ada desir kecemburuan. Dan karena itu pulalah ibu memaksa ritual ini. Toh, sekalipun usaha ini menampakkan hasil, tidak lantas ibu menghentikan usahanya. Sebaliknya berbagai ramuan mengaliri kerongkonganku. Aku tak kuasa menolak. Siapa yang bisa menolak keinginannya? Ayahkupun sekalipun. Di matanya ibuku sebagai dewi. Tak ada yang bisa diperbuat kecuali mengiyakan apa yang dimauinya, termasuk membuat duplikat dirinya.

"Kamu sudah pantas memiliki pendamping." Demikian suatu kali ibu berkata. "Penampilanmu sudah tidak malu-maluin lagi." 

"Dan rasanya kamu layak mendapatkan yang lebih... tidak seperti ibumu." Telingaku mencuat. Mataku menyelidik gambaran wajah ibuku di cermin. "Kamu harus mendapatkan lelaki jauh melebihi ayahmu." Gumamnya. Aku tercekat! Aku tidak percaya pendengaranku. Ayahku dijadikan ukuran untuk menentukan siapa pendampingku. Tak terbayangkan lelaki seperti apa yang bisa melebihi ayahku, lelaki yang mendekati kesempurnaan di mataku, kecuali ketidakberdayaannya di hadapan ibuku.

Untuk sementara waktu ibuku tidak pernah lagi mengungkit soal pendamping sampai suatu saat aku dimintanya untuk berias. Jauh dari  kegirangan aku menerima kabar akan diperkenalkan pada seseorang. Tak dapat kubayangkan seperti apa calon suamiku.

"Ini lho, yang pernah Ibu ceritakan. Pram ini putra kenalan Ibu dulu. Tidak jauh dari yang diceritakan,  kan?" Aku menunduk. Pikirku bertanya kapan ibu menceritakan orang bernama Pram. Tapi tak kupungkiri pilihan ibu. Namun, aku gamang mendapat sorot matanya tajam menyelidik berpindah dari setiap inci tubuhku.

            "Senang akhirnya bisa bertemu." Sapaku seraya menerima jabat tangannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline