Lihat ke Halaman Asli

Seno Rocky Pusop

@rockyjr.official17

Kepemimpinan Perempuan Papua dan Budaya Patriarki

Diperbarui: 10 November 2023   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemimpin Perempuan Papua Yustina Ogoney Bersama Masyarakat Suku Moskona (mongabay.co.id)

Sejak pemerintah Indonesia mengklaim wilayah Irian Barat pada tahun 1956 sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Irian Barat.

Selama itu, perjuangan panjang kaum perempuan Papua menjadi pemimpin menghadapi banyak kendala atau kontroversi yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan gender yang melahirkan marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotip dan beban ganda.

Di masa-masa awal pemerintahan memang sangat memprihatinkan sekali dan sukar untuk perempuan Papua menjadi pemimpin, melihat adanya dekonsolidasi demokrasi dan politik identitas yang seringkali juga tidak positif dalam mempresentasikan citra perempuan. Kedudukan status sosial perempuan dianggap sebagai kaum lemah yang diperparah oleh adat.

Perempuan Papua mengalami tantangan dan diskriminasi yang lebih berat, baik secara politik maupun hukum. Masalah paling serius yang dihadapi perempuan Papua adalah kendala nilai sosial budaya yang tidak memberikan akses dan kesempatan untuk menduduki posisi sentral dalam lembaga politk.

Secara khusus, budaya patriarki di Papua tentang malapetaka perempuan digariskan sebagai kodrat bagi perempuan yang dilegitimasi oleh adat-istiadat, dogma agama, kebijakan politik dan sebagainya.

Namun juga, kemiskinan yang mencengkeram masyarakat, buruknya pelayanan pemerintah di bidang kesehatan dan pendidikan, kebijakan politik-keamanan mengakibatkan pelanggaran HAM yang berkontribusi bagi lahirnya diskriminasi terhadap perempuan.

Budaya patriarki ini menjadi momok bagi perempuan Papua sebagai stigma kelam dan belenggu yang menjadi tuntutan utama bahwa perempuan hanya bisa melakukan pekerjaan domestik seperti merajut noken, menyusui anak, mencuci, memasak dan hal-hal lain yang masih sangat melekat dan bisa dilakukan. Namun, itu bisa berubah menjadi cibiran yang tak terhindarkan akibat tidak bisa melakukan pekerjaan domestik dan lebih cenderung ke pekerjaan publik.

Dalam masyarakat patriarki pandangan kolektif masyarakat memperlakukan perempuan sebagai objek dan menempatkan laki-laki pada posisi istimewa.

Suatu sistem sosial dan label yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan sebagai orang besar, kepala suku atau ondoafi, baik dalam kasta adat, kepemimpinan politik maupun otoritas moral dan sebagainya. Patriarki ini juga bersifat patrilineal, yang artinya bahwa segala properti dan gelar hanya diwariskan kepada keturunan laki-laki.

Namun demikian, masih terdapat fakta kurang menyenangkan bagi perempuan Papua, seperti masih tingginya tingkat kekerasan pada perempuan, ketimpangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap fasilitas kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang tinggi, minimnya peran perempuan dalam lembaga publik untuk mendapatkan posisi strategis di   sektor pemerintahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline