"Sebuah perspektif analisis sosiologi konflik berdasarkan pendekatan Analisis Konflik Multidisipliner Johan Galtung, terkait konflik Papua dan berbagai dinamika konflik yang dimainkan oleh elit politik nasional (Jakarta) maupun elit poltik lokal (Papua) dalam menciptakan distabilitas politik di Papua saat ini."
(Oleh. Ardon Etus Nauw)
Konflik Papua adalah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di Indonesia, dan tidak pernah menemui titik akhir jalan penyelesaian yang baik. Konflik yang lahir melalui berbagai dialektika kepentingan para pihak dalam memperebutkan berbagai sumber daya sosial, sehingga menciptakan berbagai jenis, tipe, pihak, dinamika, dan inisiatif intervensi konflik yang sangat kompleks, sehingga sulit untuk di tata kelola secara baik sebagai tujuan penyelesaian menyeluruh untuk kebaikan kehidupan masyarakat Papua di Indonesia.
Berbagai dialektika kepentingan para pihak yang muncul sebagai motif angka dasar kepentingan mereka, dan masing-masing bersumber kepada beberapa sumber konflik seperti kepentingan komunal maupun kepentingan kekuasaan politik negara, yang sebagaimana dipandang sebagai instrumen konflik vertikal maupun horizontal, dan menjadi sumbu api yang melahirkan berbagai akibat-akibat konflik yang terjadi di Papua saat ini.
Kepentingan komunal masyarakat Papua yang dimaksud ialah kepentingan etnis, bahasa, budaya, agama, dan geografis. Yang menjadi instrumen utama dalam menyatukan serta membentuk kesadaran komunitas, rasa persatuan, dan rasa kepemilikan yang kuat sebagai suatu modal komunitas sosial (identitas sosial) masyarakat Papua sendiri, dan harus mereka pertahankan.
Kemudian kepentingan kekuasaan dapat dilihat sebagai upaya dominasi sosial, ekonomi dan politik (dominasi struktural) oleh suatu kelompok tertentu, baik negara maupun masyarakat luar, atas kepentingan komunal masyarakat Papua, yang sebagaimana sudah termanifestasi sebagai suatu modal dasar identitas sosial masyarakat komunal Papua yang telah terawat dan terjaga sebagai sumber daya sosial yang diwariskan oleh leluhur masyarakat Papua turun-temurun.
Kepentingan kekuasaan juga bisa lahir melalui adanya intervensi kepentingan kekuasaan dari pihak luar maupun bisa juga lahir dari persaingan internal masyarakat komunal itu sendiri. Misalnya dominasi kekuasaan etnis primordial tertentu yang sebagaimana juga merupakan bagian dari entitas komunitas masyarakat komunal Papua sendiri dalam menguasai berbagai sumber daya kekuasaan yang ada di Papua. Intervensi dominasi kepentingan kekuasaan eksternal dan praktik dominasi kepentingan kekuasaan internal inilah yang menciptakan berbagai jenis dan tipe konflik yang kompleks di Papua.
Berdasarkan berbagai dialektika konteks konflik Papua tersebut diatas maka, penulis coba menggunakan pendekatan analis konflik multidisipliner oleh Johan Galtung untuk melihat dan mengungkapkan fakta konflik Papua yang sebagaimana saat ini semakin menekan dan mengkhawatirkan bagi seluruh pihak di Papua, yaitu menganalisis berbagai kemungkinan sumber konflik, jenis dan tipe konflik, sikap dan perilaku para pihak berkonflik, serta usulan ideal tingkat penyelesaian konflik Papua secara komprehensif.
Terutama, terkait konflik politik sejarah masa lalu Papua dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara. Kedua, praktik instrumental penyelesaian konflik seperti kebijakan pembangunan berkelanjutan, Implementasi Otsus Papua dan Isu Pemekaran DOB Provinsi di Papua. Ketiga, adanya inisiatif intervensi pihak ketiga (baca: pihak luar) untuk membantu menyelesaikan konflik Papua. Keempat, adanya inisiatif dialog damai oleh pemerintah Indonesia bersama kelompok kiri pejuang Papua merdeka (OPM) yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Kelima, jalan penyelesaian konflik Papua yang ideal. Fakta konflik inilah yang menjadi titik fokus pembahasan penulis.
Pendekatan teori analisis konflik multidisipliner Johan Galtung, yang penulis gunakan untuk melihat fakta konflik Papua ialah pendekatan Segitiga Konflik Galtung, dimana segitiga konflik ini merupakan analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terciptanya konflik sosial. Ada tiga dimensi dalam segitiga konflik Galtung, yaitu, sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) para pihak berkonflik dalam memperebutkan sumber-sumber konflik yang dipertentangkan.