Kehidupan manusia di dunia ini ditandai dengan upaya tiada henti-hentinya untuk menjadi manusia. Upaya ini berlangsung dalam dunia ciptaan manusia sendiri yang berbeda dengan dunia alamiah, yakni kebudayaan.
Kebudayaan sebagai suatu fenomena yang universal telah menempati posisi yang paling sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia di dunia. Tidak ada manusia yang hidup di luar ruang lingkup kebudayaan, sebab kebudayaanlah yang telah memberi nilai dan makna pada hidup manusia.
Keberadaan orang Meck sebagai salah satu suku yang kokoh dan berdiri di atas landasan kebudayaannya sendiri, maka penting sekali artinya bagi kita untuk memahami hakikat kebudayaannya.
Seperti halnya, setiap suku dan bangsa di dunia ini memiliki kebudayaan tersendiri, meskipun corak dan bentuknya berbeda-beda dari suku yang satu ke suku yang lain.
Namun, pada prinsipnya kebudayaan suku Meck secara nyata menampakkan kesamaan kodrat manusia dari pelbagai suku, bangsa, dan ras yang ada.
Orang bisa saja mendefinisikan manusia dengan caranya masing-masing, akan tetapi manusia sebagai makhluk budaya adalah suatu fakta historis yang tak terbantahkan oleh siapa pun juga.
Sebagai makhluk budaya manusia merupakan pencipta kebudayaan. Sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekpresi kehidupan manusia di dunia.
Dengan demikian melalui kebudayaan inilah, orang Meck dalam segala kiprahnya telah menorehkan banyak napak tilas dalam panggung sejarah.
Imakhne yang kerap disanjung dalam pemahaman teologi kultural orang Meck, sosok ini dipercaya sebagai "Sang Khalik", "Yang Mahatinggi" atau "Bapa yang di Sorga".
Makna yang terdapat di dalam kepercayaan ini mengandung nilai spiritualitas yang merujuk pada interpretasi teologis yang menjadi panutan hakiki bagi orang Meck.