Lihat ke Halaman Asli

"Dulu Sekolah Itu Surga Tapi Kini?"

Diperbarui: 14 Februari 2016   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teringat masa sekolah dulu saat masih belum ada gadget dan komputer. Hanya ada papan tulis yg memakai kapur utk alat menulisnya. Murid murid tidak perlu membawa buku pelajaran dari rumah cukup dengan buku tulis saja, itu juga cukup dua atau tiga. Tas sekolah tidak perlu yg besar dan berat kadang cukup dengan yg kecil dan ringan. Untuk alas kaki juga boleh apa saja tergantung kemampuan orangtua. Saat yang dinanti siswa adalah saat istirahat dimana mereka bisa bermain bersama.

Kegiatan bermain ini menjadi menu utama sekolah dan menjadi dayatarik tersendiri bagi siswa untuk hadir. Kegiatan mengajar tentu dilakukan oleh siswa dengan dibimbing oleh guru di dalam kelas. Tetapi bagi siswa justru saat istirahat yg dianggap menu utama. Ujian juga dilakukan secara lokal saja dan tak ada momok UN yg saat ini diciptakan oleh orang orang yg mengaku pintar. Tak ada doa bersama saat akan mengikuti ujian lokal atau ulangan umum,cukup saat akan melakukan ujian saja itu pun hanya 2-3 menit. Ya suasana sekolah itu terasa nikmat saat siswa mengikutinya.Tak ada beban di wajah mereka saat pulang sekolah.

Lihatlah saat ini siswa dibuat tidak dapat menikmati masa bersekolah.Mereka harus berhadapan dengan momok yg bernama UN yg dilaksanakan bak orang akan berperang.Ada beberapa hal yg diciptakan oleh departemen pendidikan sehingga terkesan pendidikan itu menjadi beban yg harus dipikul siswa saat kegiatan belajar mengajar.Tak ada lagi roman ceria saat mereka pulang sekolah,semua energi muda mereka telah habis diserap utk menghadapi momok monster berupa UN.Jam belajar dibuat lebih lama dan berlangsung secara ketat. TAk terpikirkah oleh petinggi Depdiknas bahwa mereka masih muda dan berhak nikmati masa bermain yg akan membentuk sifat dan kharakter seorang manusia.

Mungkin buat pembuat kurikulum sepertinya siswa dianggap obyek yang wajib mereka bentuk dengan cara cara instan menurut apa yg mereka pikir.Tak ada refleksi dari Depdikbud pada kurikulum mereka yg menghabiskan waktu siswa utk hanya ada di sekolah. Lalu timbul pertanyaan kapan waktunya siswa berinteraksi dengan lingkungan kampungnya atau tempat tinggalnya.Padahal kita tahu pendidikan itu juga dibentuk oleh lingkungan sosial dimana siswa tinggal. Dan tak lupa peran orangtua dan keluarga besar juga mempunyai peran sangat penting bagi perkembangan watak siswa sebagai manusia.

Dulu sekolah itu merupakan satu dari tiga bagian pembentuk watak siswa sehingga menjadi manusia yg sesuai dengan lingkungannya.Dua bagian lainnya adalah keluarga dan lingkungan sosial dimana siswa tinggal. Waktu belajar di sekolah cukup hanya 6 jam saja selebihnya siswa berinteraksi dengan orang dari beragam kelompok dan status sosial. Kini siswa belajar di sekolah hampir menyamai jam kerja kantor atau buruh pabrik.Siswa wajib datang jam 7 pagi bila terlambat dikenai sangsi dan hukuman layaknya hukum militer.Jam sekeloah selesai setelah hampir sore. Hari libur hanya satu hari dalam satu minggu tentu siswa sudah terlalu lelah bermain.

Kemana surga yg dulu ada di sekolah,hilang sudah kenikmatan siswa bermain saat sekolah. Saat sudah di lingkungan rumah juga siswa sudah lelah sehingga tak ada energi lagi utk bermain. Banyak orang pandai dan pintar menyusun kurikulum agar siswa dapat menjadi manusia seutuhnya. Pertanyaannya bagaimana bisa utuh bila siswa tercerabut dari lingkungannya. Teori dan hafalan tidak dapat mengalahkan praktek yg diserap siswa dari lingkungan yg hidup di sekelilingnya.

Mudah mudahan seluruh stoke holder atau pemangku yg mempunyai wewenang dan tanggung jawab pada pendidikan siswa cepat tersadar dari kungkungan yg dibuat oleh orde sebelumnya agar kreativitas siswa dapat tumbuh alami..

Kembalikan surga di sekolah yg dulu ada. Jadikan sekolah tempat yg menyenangkan bagi siswa,dimana kesalahan itu manusiawi. Dan kelambatan kedatangan juga ditolerir sejauh dalam batas wajar. Ini pendidikan bagi siswa bukan pelatihan tempur militer.

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline