Media Cetak dan Media Daring saat ini dijadikan sebagai alat propaganda. Hal ini tentu sudah kita dengar sejak era perang dunia pertama sampai kedua, bahkan hingga sampai di pra maupun pasca Indonesia Merdeka. Media tak lepas dari peranannya menginformasikan sesuatu hal lewat berbagai karya, baik foto maupun tulisan.
Propaganda sendiri di cetuskan oleh Partai Nazi, dibawah pimpinan Adolf Hitler ia mendirikan Kementerian Propaganda dan menunjuk Joseph Goebbels sebagai Menteri Propagandis. Lewat mulutnya kita mengenal tekhnik propaganda Big Lie (Dibaca: Kebohongan Besar) salah satu bentuk propaganda paling berpengaruh di dunia sejak zaman perang hingga saat ini.
Prinsip kerja dari tekhnik propaganda ini adalah menyebar luaskan berita bohong lewat media massa sebanyak mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.
Hal propaganda ini terlihat mirip ketika kita melihat sistem pemberitaan media daring di Lampung yaitu mengenai PT KAI (Persero) dan Grondkaart yang dimilikinya. Beberapa media beramai-ramai menyatakan kalau Grondkaart PT KAI tidak sah hingga PT KAI tidak berwenang sewakan tanah semuanya bermuara dan bersumber hanya dengan satu narasumber yakni pendapat dari anggota DPD RI asal Lampung Andi Surya.
Masalah ini sangat miris ketika media melakukan verifikasi hanya kepada satu pihak dan bukan ahli dibidangnya serta tidak verifikasi kepada yang empunya lahan langsung yakni PT KAI (Persero) sebagai pengelolanya.
Kalau kita telisik lebih jauh, faktanya Grondkaart PT KAI dan Pendayagunaan Asetnya sudah diatur jelas didalam Surat Menteri Keuangan Nomor B-II/MK.16/1994 tanggal 24 Januri 1995 yang ditujukan kepada kepala BPN mengenai Grondkaart dan Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor: PER-13/MBU/09/2014 tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apakah awak wartawan melakukan verifikasi sampai sejelas ini kepada PT KAI (Persero)? Saya rasa tidak.
Didalam kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers. Pasal 3 menjelaskan Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pers di Lampung harus benar-benar menerapkan kebijakan ini secara berkelanjutan agar tidak dimanfaatkan oleh orang maupun kelompok tertentu untuk kepentingannya. Karena sangat berbahaya jika salah dalam menginformasikan perkara penting apalagi menyangkut persoalan lahan negara.
Medan, 27 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H