Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan singkat menuju Bukum Simalem

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan sinkat menuju Bukum Simalem

Sabtu, 25 Mei 2013 betepatan dengan Hari Raya Waisak Tahun 2557(Saka), jadi dalam kalender merupakan hari merah(libur), sehingga kami memutuskan untuk melakukan kegiatan lintas alam sekalian survey untuk rute Napak tilas ‘sehna berita si-meriah man kalak Karo’. Dari Medan kemacetan bukan main panjangnya sehingga untuk sampai di Simpang Pasar Baru saja sudah pukul 11.25 wib.

Dari Sp. Pasar Baru (11.30 wib) kami bergerak menuju Buluh Awar dengan mengendarai mobil dan sepeda motor melewati jalan yang licin, berbatu, terjal, dan sangat rawan longsor, namun itu semua dapat terobati dengan suguhan udara dan air yang segar, keindahan alam, dan masyarakat yang kami temui yang ramah-ramah dan royal senyum. Sesampainya di Buluh Awar kami beristirahat sejenak sembari memeriksa kondisi kendaraan kami dan kemudian melanjutkan perjalanan dan beristirahat sambil makan siang di Maertelu(13.23 wib).

Dari maertelu kami bergerak menuju Bukum(14.18 wib) dan sampai di Bukum sudah pukul 14.45 wib sepertinya tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan lagi, sehingga kami mengurungkan niat kami dan menundanya hingga waktu yang dikemudian hari ditentukan.

Rabu (5 Juni 2013) hari yang disepakati. Kami memutuskanbergerak dari Bandar Baru menuju Bukum menggunakan ojek sepeda motor untuk mempercepat gerak kami. Jadi, yang berangkat saya, bang Arnem Tarigan dan dua orang pemuda berdarah Nias sahabat bang Arnem. Dari Bandarbaru hingga ke Maertelu jalanan cukup bagus dan tidak ada masalah, namun memasuki simpang tiga menuju Bukum kerusakan sudah mulai terlihat, dan semakin mendekati bukum akan semakin parah lagi, dimana jalan berbatu-batu licin dan tajam, tergenang air yang deras, longsor, dan kadang terdapat genangan air dan kubangan yang cukup tebal dan dalam. Sungguh suatu pemamdangan yang sangat memilukan.

Kebetulan dari tiga sepeda motor yang berarakan tumpangan saya di baris paling belakang. Tiba-tiba saat melewati PLTA yang diperuntukkan bagi Desa Bukum, ojek yang saya tumpangi bannya bocor, sehingga, perjalanan harus dihentikan dan si-tukang ojek memutuskan kembali untuk memperbaiki ban sepeda motornya, jadi saya harus menunggu di jalan. Menunggu sejenak tidak ada juga kendaraan yang lewat, jadi, mengingat menunggu adalah sebuah pekerjaan yang membosankan maka saya memutuskan melanjutkan perjalanan saya sembari menunggu mungkin nanti ada kendaraan yang lewat.

Sekitar 500 meter berjalan, akhirnya saya mendengar suara kendaraan yang semakin lama semakin mendekat. Sayapun memperlambat langkah saya dan memang karena sudah mulai lelah berjalan dimana saya harus menenteng tas yang lumayan berat dengan jalan yang menanjak dan tergolong sangat rusak parah. Namun, ada keanehan pada kendaraan(mobil) yang mendekat itu. Saat saya menoleh kebelakang, kendaraan itu tiba-tiba berhenti (sekitar 30 meter dari saya). Kemudian saat saya melanjutkan perjalanan kendaraan itu juga kembali bergerak dan saat kembai saya menoleh ke belekang seketika kendaraan itu juga berhenti. Aneh! Saya tidak mau ambil pusing dan kembali terus berjalan dan kendaraan itu-pun kembali berjalan di belakang saya. Saat melewati persimpangan tiga (Sp. Selangge-langge) saya sudah keletihan dan berat rasanya kaki ini untuk dilangkahkan maka saya putuskan berhenti sejenak dan saat saya berirtirahan dengan perlahan kendaraan yang ditumpangi dua orang(sepertinya suami – istri) itu semakin mendekat dan saat sudah sangat dekat dengan saya, saya mencoba memberhentikannya dengan memberi kode dan meminta tumpangan dengan berkata “Numpang Pak seh ku Bukum”, namun pandangan tajam tidak bersahabat dari kedua orang didalam kendaraan itu dan mereka cuma diam dan berlalu dari saya dan tinggalah saya sendiri ditengah hutan di sepanjang jalan menuju Bukum. Rasa letih bercampur sedikit jengkel, dalam hati saya berkata: “Ikh.. Sok naring kalak Bukum e. Sitik pe lalait bersahabatna. Tek- kel aku kalak Karo ras kalak Kristen oh… Bage kepe genduari kalak Karo ras kalak Kristen e me, sitik pe lanai lit rasa saling menolongna.”

Sedikit tenang dan tenaga saya juga sudah mulai pulih, maka saya lanjut berjalan. Jujur sih seram dan takut sendirian dihutan, dan tak henti-hentinya saya berdoa dalam hati saya, mana teman-teman saya juga tak kunjung datang. Hehehe… Namun pemandangan, udara segar, dan suara gemuruh air sedikit membuat saya merasa nyaman dan terhibur.

Tiba-tiba terdengar oleh saya suara anak-anak yang berjalan semakin dekat dari arah berlawanan dengan langkah saya. Dari kejauhan saya melihat beberapa anak-anak berpakaian putih - merah(seragam SD) berjalan semakin mendekat. Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya, katanya: “Kemana, bang?”

Jawab saya: “Ku Bukum, dek! Ndauh dengan ki Bukum e?”

Jawabnya: “Ndauh dengan, bang!”Sambungnya lagi dengan pertanyaan: “Ja nari kin kam e ras erkai atendu ku Bukum?

Jawab saya datar sembari menarik nafas panjang (maklum sudah keletihan): “Aku Medan nari, dek!” menghela nafas, lalu: “Labo erkai pe, dalin-dalin saja.”

Lalu: “Piga nomor rumahndu, bang” tanyanya lagi.

Kemudian seorang yang lain diantara mereka bertanya dengan nada malu-malu kepadanya sambil curi-curi pandang ke arah saya, katanya: “Man kadem kin e nungkun nomor rumah bang oh?”

Jawabnya: “Ikh.. Perlu, nak!” sambungnya lagi: “Mana tau ku Medan kari aku, mapak, me banci ku darami abang e?” dengan nada yang sangat meyakinkan dilanjut dengan tertawaan.

Mereka pun semua tertawa mendengar jawaban yang dilontarkan sahabat mereka itu. Dan, saya juga ikut tertawa kecil, lalu kata saya kepadanya: “No. 71, dek. Uai. Reh saja kam yah.”

Dan, rombongan anak-anak SD itu-pun melanjutkan perjalanan mereka dengan tampak kegirangan, begitu juga dengan saya. Rasa kesal dan letih sedikit terobati melihat semangat anak-anak SD ini yang harus berjalan melewati rute yang menurut saya cukup berbahaya bagi anak-anak untuk bisa bersekolah.

Perjalanan berlanjut. Nafas saya sudah mulai berat, namun saya tidak mau dikalahkan oleh rasa letih karena sedikit lagi(100 meter) tujuan saya akan sampai. Dan tiba-tiba terdengar suara sepeda motor dari depan saya dan ternyata teman satu rombongan saya dari Bandar Baru yang sengaja menjemput karena merasa sudah cukup lama menunggu saya.

Sesampainya di Bukum, kami berhenti di sebuah kedai di depan SD Bukum istirahat sambil menunggu Pak. Barus yang nantinya akan menjadi pemandu kami selama melintasi hutan-hutan dan sungai sepanjang Bukum hingga Simpang Lau Debuk-debuk di Desa Doulu, Kab. Karo.

Sekitar 3 menit duduk di kedai itu, kendaraan yang tadinya tidak mau saya tumpangi berhenti tepat didepannya dan sepertinya mereka mengenal saya dan tak henti-henti menatap ke arah saya, namun saya cuek saja dan menganggap tidak pernah melihat mereka. Tak hentinya kedua orang itu menatap ke arah saja. Keakraban dalam pembicaraan kami di kedai itu sepertinya memumbuhkan tanda tanya dalam hati mereka ‘siapa orang ini?’

Rasa penasaran dan sedikit bercampur merasa bersalah dan malu tampak dari raut wajah mereka. Setidaknya itu yang saya baca dari mimik wajah mereka.

Saat Pak Barus tiba, kami-pun memulai petualangan yang cukup mendebarkan dan meletihkan yang mungkin akan saya ceritakan nanti diwaktu yang berbeda. Sebelum berlalu dari Bukum saya sempatkan tersenyum lebar kepada kedua orang tadi.Mejuah-juah man banta kerina. :D

[caption id="" align="alignnone" width="512" caption="Perjalanan sinkat menuju Bukum Simalem"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline