Lihat ke Halaman Asli

Tulisan (aksara) Karo

Diperbarui: 4 April 2017   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A.  Pengantar

1.  Apa itu tulisen(aksara) Karo.

“Itu rumah Malem!” Ataupun, “Ini pensil Joni!”
Dari dua kalimat yang diapit tanda petik dua diatas, adalah merupakan kalimat pernyataan yang menunjukkan atau mengarah kepada ke-bendaan(“rumah” dan “pensil”) yang masing-masing dimiliki oleh “Malem” dan “Joni”. Maka, jika dikatakan “Ini(itu) tulisen(aksara) Karo!”  tentunya juga menunjukan benda yang  kepemilikan tau dimiliki oleh Karo(milik etnis Karo)!

Tulisen(aksara) Karo, adalah kumpulan tanda-tanda(karakter/simbol-simbol) utuk menyatakan sesuatu, yang pemakaiannya dimengerti dan disepakati, yakni oleh masyarakat Karo itu sendiri.  Tulisen Karo merupakan milik dari masyarakat(etnis) Karo atau dengan kata lain, tulisen yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat(etnis) Karo serta tersebar luas, dipergunakan dan diajarkan(awalnya dengan bahasa pengantar, cakap Karo) di ruang lingkup Karo yang dulunya meliputi pesisir timur di Sumatera(Oostkust van Sumatera) bagian utara  dan dataran tinggi Karo yang terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan. Lihat tabel Tulisen Karo berikut!

2.  Tonggak Awal Sejarah Karo

Masuknya pengaruh Hindu ke Karo pada awal abad I(pertama) diyakini merupakan tonggak awal berdirinya sejarah Karo(keluar dari masa pra-sejarah), dimana untuk pertama kalinya aksara Palawa(Wenggi) di perkenalkan, walau bahasa pengantarnya masih dalam bahasa Sansekerta(Agama Pemena adalah bukti pengaruh Hindu-Budha di Haru(Karo)). Hingga kemudian pada abad ke-5 diawali dengan masuknya pengaruh Budha ke nusantara termaksuk ke Karo(Haru) dan diperkenalkanlah tulisan “Nagari”, yang diyakini merupakan cikal bakal(dasar) terjadinya tulisen(aksara) Karo, Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan lain-lain.

3. Eksistensi Tulisen(aksara) Karo serta Fungsinya dalam Masyarakat Karo

Tidak banyak literaatur-literatur kuno yang dapat mendukung kapan tulisan(aksara) Karo itu mulai eksis(dipergunakan secara luas di wilayah Karo), namun ada beberapa syair cinta, ramalan(katika), puisi, turi-turin(cerita), mangmang/tabas(mantra), kitab ketabib-pan, ratapan/rintihan(bilang-bilang), kitab mayan(beladiri), serta cerita sejarah adanya interaksi berupa surat-menyurat antara kerajaan Haru(Karo) dengan kerajaan-kerajaan lainnya, seperti: Johor, Malaka, Portugis, dan Aceh(walau tidak dijelaskan bahasa dan aksara apa yang dipergunakan) yang ditemukan.

Sekitar tahun 1872, di wilayah Dusun(Deli-Serdang)  guru-guru tradisional yang mengajar membaca dan “menulis” dalam bahasa daerah masih dibayar dengan mata uang emas(draham/dirham) [...] dari hal ini dapat kita ketahui bahwasanya bahasa dan aksara Karo itu pernah dipergunakan sebagai media serta instrumen pengajaran secara umum, bahkan di Kabupaten Karo dan beberapa daerah di wilayah Deli-Serdang dan Langkat, aksara Karo masih masuk dalam pelajaran muatan lokal daerah hingga saat ini. Selain itu, menuskrip Hikayat Hamparen Perak yang diperkirakan terbit sekitar abad ke-18 yang berisikan teks 55 halaman dalam cakap(bahasa) Karo dan diyakini juga ditulis dalam aksara Karo yang sebelumnya disimpan di Instituut voor de Tropen di Amsterdam, sayang sudah hilang! Yang seharusnya dapat menjadi sebuah bukti eksistensi Karo, khususnya aksara dan bahasanya. Bukan itu saja, kita juga tahu kalau ada menuskrip lokal(Karo) asli dalam bahasa dan aksara Karo(tahunnya tidak diketahui, namun mungkin sekitar abat ke-17 – 18) yang mengisahkan perjalanan merga Sembiring Kembaren(Pustaka Kembaren) dan merga Ginting(Pustaka Ginting) yang berkat seorang penginjil asli Karo yang bertugas di Langkat, bernama:  Pa Belat, yang kemudian menyerahkan transkripsinya kepada misionaris Belanda Pdt. J. H. Neumann dan tahun 1926 diterjemahkan dalam cakap Karo(aksara latin) dan bahasa Belanda, serta oleh LIPI diterjemahkan tahun 1972 dan diterbitkan oleh Brahma Putro ditahun 1981. (ctt. Kamus Karo-Belanda diketahui pertama terbit 1907 oleh Pdt. M. Joustra, dan tahun 1951 oleh Pdt. J. H. Neumann)

September 1909, sultan Deli menandatangani adat (hukum) Dusun yang diselenggarakan oleh Westenberg(kontrolir) yang atas permintaan para pemimpin di Dusun diterjemahkan dalam cakap Karo.

Tulisen(aksara) Karo dalam kehidupan sehari-hari etnis Karo selain sebagai media komunikasi(surat – menyurat), seperti pada turi-turin(sejarah/tradisi(cerita lisan)) asal usul merga Peranginangin Sinurat yang merupakan juru tulis dari Raja Urung Peranginangin Pincawan di Perbesi.( Sinurat --> Si = si(merujuk ke subjek/pelaku) dan nurat yang terdiri dari kata nu/ni = yang(subjek) dan surat= media untuk tulisan/surat. Jadi Sinurat = [orang] yang menyuratkan([orang]yang menuliskan/juru tulis)), juga dipergunakan untuk menuliskan syair cinta, puisi, cerita, lagu, ramuan obat-obatan, mangmang(doa/mantra), ilmu ketabib-pan, mayan/[n-]dikar(ilmu bela diri/silat), ilmu tenun, ragam hias,  dll yang dipahat pada batang ataupun kulit kayu(biasanya terdiri dari lembaran-lembaran kayu alim(aquilaria malaccensis)) atau bambu, tulang, maupun batu seperti pada (cerita-)sejarah sub-merga Sembiring Guru Kinayan(Guru = guru, orang pandai(orang pandai; ahli ilmu ketabipan, kebatinan, agama, dll) Kinayan/Er-mayan(mayan = ilmu bela diri)) keturunan dari salah satu anak Magit[-dan] Brahmana(nenek moyang Sembiring Berahmana) yang bernama Mbulan Brahmana(cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tanduk, Kabanjahe) yang saat melakukan perjalanan menemukan buluh kayan ersurat(bambu bertuliskan ilmu mayan/silat) kemudian menetap dan membuka kampung serta mengajar mayan(silat) sehingga kampung dan keturunannya disebut Guru Kinayan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline