Sedikit bingung tulisan harus dimasukkan ke rubrik apa.
Catatan harian? Rasanya tidak pas. Politik? Bah, mana berani saya berpolitik. Jadi 'muda' sajalah, haha.
Nasionalisme Musiman. Judulnya mungkin tidak sedap didengar. Musiman? Memang buah?
Tapi makin mendekati pemilu, cuma ini yang selalu melintas di kepala setiap kali membaca komentar-komentar di artikel seputar Pencalonan Presiden.
Ke mana kita selama ini? Sudah bisa berbuat apa kita buat negara? Sudah mendapati temuan apa yang bisa bikin Indonesia bangga? sudah memberikan kontribusi apa, selain hujatan pada pemerintah dan kabinet yang kita nilai tidak berhasil?
Selama ini ke mana kita? selama tahun 2010-2013, coba lihat timeline kita. Apa yang kita lakukan? Dan sekarang, menjelang pemilu, mendadak semua jadi paling cinta Indonesia. Paling memikirkan bagaimana nasib bangsa kalau kubu yang menang bukanlah kubu yang kita dukung.
Kembali lagi ke judul saya. Nasionalisme musiman.
Rasanya miris aja, kalau pendukung salah satu kubu sudah mulai berapi-api dan menjelek-jelekkan kubu yang lain. Saling mengorek borok lawan, walaupun saya tidak yakin itu bisa disebut lawan. Bukankah keduanya, setidaknya menurut visi misi mereka, sama-sama berniat memperbaiki Indonesia?Terlepas dari apakah visi misi dan semua kata-kata yang keluar dari mulut mereka adalah jujur atau hanya pencitraan belaka, karena hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Ah, pencitraan. Kata yang dulu sama sekali tidak saya ketahui artinya, tapi sekarang selalu terdengar di mana-mana.
Presiden yang tertegun karena ditinggal pergi oleh menterinya sewaktu dia baru saja pulang dari luar negeri, kita tuduh cuma cari simpati. Si A turun langsung ke lapangan dan berinteraksi dengan rakyat, kita langsung panas dan bilang itu pencitraan. Si B ngomong berapi-api dan memberikan janjinya pada rakyat, kita tepis mentah-mentah karena kita yakin itu cuma janji manis di muka.
Wah, sombong sekali saya, menghakimi masyarakat seolah saya paling benar.