Lihat ke Halaman Asli

Djamester A. Simarmata

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Lahan Perumahan dan Kota: Boros vs Hemat

Diperbarui: 30 Juni 2017   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kota Sebagai Wilayah Pemukiman

Dalam wilayah sekitar DKI-Jakarta, ditemui dua konsep yang saling bertentangan:  dan Kelangkaan lahan. Yang pertama dapat dilihat dalam sebagian kota-kota baru yang berada dalam wilayah JABODETABEK serta yang mengelilinginya. Konsep kedua, tergambar dari pembangunan perumahan di wilayah DKI-Jakarta, menurut saya adalah konsep dasar pendukung reklamasi teluk Jakarta yang telah menjadi isu vital dalam Pilgub DKI 2017 yang baru lalu. Konsep boros berada di bawah anggapan bahwa tanah tersedia dengan melimpah, di mana penggunaan terlihat sangat mewah, berlebihan dari yang dibutuhkan dengan halaman perumahan dan jaringan jalan yang luas. 

Situasi pembangunan kota seperti ini mengingatkan kita pada situasi Amerika Serikat di mana konsep rumah besar di atas lahan luas adalah hal lumrah, di tengah-tengah ketersediaan lahan melimpah: luas wilayah Amerika Serikat sebesar 9,83 juta km persegi, dengan penduduk hanya 321,4 juta jiwa, berarti dengan kepadatan sebesar 0,33 orang penduduk per hektar. Indonesia dengan luas 1,9 juta km persegi dengan penduduk sebesar 250 juta, mempunyai kepadatan lebih dari 1,35 penduduk per hektar. Bila kita melihat pulau Jawa secara terpisah, maka kepadatan penduduk telah mencapai 11 jiwa per hektar. Angka ini menunjukkan bahwa konsep pembangunan pemukiman di pulau Jawa seyogyanya didasarkan pada konsep kelangkaan lahan, bukan berdasarkan ketersediaan lahan melimpah (abundant).

Kota-kota baru dalam dan sekitar JABODETABEK menunjukkan landasan pemikiran tadi, lahan melimpah, termasuk salah satu kota yang telah mendapat pujian, yang menurut saya tidak atas dasar kriteria komprehensif. Salah satu konsep yang muncul dengan reklamasi DKI ialah membandingkan antara biaya penimbunan laut untuk pengadaan lahan, antara lain untuk pemukiman. Sayang, kelihatannya biaya itu lebih hanya didasarkan pada "out-of-pocket money", tanpa mempertimbangan semua biaya eksternal dan lingkungan hidup, dan belum lagi dalam perspektif lebih luas seperti munculnya dampak negatif dari pemanasan global. 

Dalam evolusi kehidupan manusia di buni, lahan sebagai komoditi ekonomi telah merubah peran ekonominya sedemikian rupa, sehingga besar dana yang dibutuhkan untuk komponen tanah dalam pembangunan makin tinggi. Dari sejumlah harga rumah yang dipasarkan, diperoleh bahwa komponen tanahnya dapat mencapai lebih dari 70 persen harga rumah. Ini menyebabkan kurang efektifnya kebijakan perumahan dalam untuk menghidupkan ekonomi. Di AS, komponen lahan itu dapat hanya berada sekitar 20%. Dari sisi ekonomi lebih luas, tokoh ekonomi, Leon Walras mengusulkan agar tanah tidak masuk sebagai bagian dari ekonomi pasar. Pertumbuhan manusia serta kegiatan ekonomi, di mana kebutuhan konsumsi manusia makin meningkat, meningkatkan pula kebutuhan lahan. Jumlah lahan di muka yang hampir tetap, malah dapat terjadi menurun areal efektifnya akibat dari berbagai dampak negatif bencana alam. Dampak agregat dari berbagai hal tadi, kebutuhan dan ketersediaan lahan di muka bumi tadi ialah peningkatan harga lahan, yang kadang-kadang telah mencapai langit. Ini menyebagkan kebutuhan dana untuk lahan bagi semua kebutuhan pemukiman dan kota serta kegiatan ekonomi makin meningkat.

Dalam terminologi ekonomi, terjadi peningkatan COR (capital output ratio), merupakan besaran dana yang dibutuhkan pada tiap satuan produk domestik bruto, atau pun kenaikan ICOR (incremental capital output ratio), yakni besaran dana yang perlu untuk menaikkan satu satuan PDB. Peningkatan PBB dengan dampak peningkatan harga lahan, di dalam dirinya mengandung efek kontradiktif. Untuk itu perlu ada studi kelayakan atas manfaat biaya sebelum usul PBB dilakukan. Dalam proses tadi terjadi transfer dana dari kegiatan ekonomi produktif pada pemilik lahan yang pada hakektnya tidak memberi kontribusi produksi pada ekonomi keseluruhan. Ini juga amat dikritik oleh ekonom Perancis, Maurice Allais, yang mendapat hadiah Nobel ilmue ekonomi tahun 1988. 

Pembangunan kota-kota baru yang dapat terlihat didominasi wilayah perumahan dalam dan sekitar JABODETABEK yang boros lahan, pasti meningkatkan kebutuhan lahan, dan dengan demikian meningkatkan tingkat kelangkaan lahan untuk perumahan. Inilah salah satu yang mengemuka yang melandasi pemikiran dalam melakukan reklamasi teluk Jakarta. Kiranya pembangunan kota, wilayah pemukiman, dan sebagainya, hendaknya mempertimbangan aspek ekonomi secara mencalam, sebab semua itu membutuhkan lahan sebagai landasan (support) dengan nilai ekonomi yang makin aduhai. Kiranya bukan hanya keuntungan bagi sekelompok kecil yang menjadi pemandu pembangunan kota dan perumahan, tetapi mutlak perlu melihat aspek holisitk.

Lahan pulau Jawa adalah lahan pertanian yang paling produktif di Indonesia. Dari data yang ada, rata-rata produktivitas padi sawah di pulau Jawa adalah sekitar dua kali Kalimantan. Opportunity cost dari transformasi lahan di pulau Jawa dibanding dengan Kalimantan dapat berlipat dua. Dari pengamatan saya terhadap berbagai rencana tata-kota, salah satu aspek vital yang terabaikan ialah masalah ekonomi perkotaan. Hal ini menyatakan seolah-olah tata kota berada di ruang hampa secara ekonomi. 

Aspek ekonomi dalam perkotaan perlu makin dipertimbangkan terkait dengan bagaimana alokasi dana antara bagian yang produktif dan tidak produktif dalam pembangunannya. Dari berbagai krisis terakhir di dunia, ternyata lebih sering memunculkan peran vital sektor properti, baik Jepang tahun 1990, Asia Timur mencakup Indonesia tahun 1997, dan negara kampiun ekonomi Amerika Serikat yang terkenal dengan subprime mortgage crisis. Memang dapat terasa kontradiktif dengan angka kepadatan penduduk AS di atas, sebab kepadatan penduduknya cukup rendah. Sungguh satu hal yang perlu mendapat perhatian bahwa nilai lahan sangat tergantung dari prasarana publik dari berbagai jenis di lokasi lahan bersangkutan, tetapi terutama yang selalu menonjol ialah ketersediaan jalan. 

Secara umum jalan dibangun dari pajak rakyat, di mana jalan harus juga didukung oleh Tata Ruang yang harus disediakan oleh pemerintah, yang dibiayai pula oleh pajak rakyat. Tetapi pemilik lahan dapat memperoleh keuntungan yang merupakan durian runtuh, tanpa hasil kerja. Dalam hal inilah bahwa seseorang atau para pengembang yang menguasai lahan ribuan malah jutaan hektar di dalam dirinya telah mengandung komponen rente kelangkaan, sebab penguasaan satu orang akan menyebabkan pelangkaan lahan yang masih tersedia secara terbuka bagi orang-orang lain. Ini perlu pengaturan. Penguasaan luas harus dikenai pajak rente pelangkaan (rents on scarcification process). 

Tetapi hal vital ialah perlu konsep lahan dalam pembangunan kota dan wilayah pemukiman: konsep boros akan makin menjadikan situasi ekonomi kurang sehat. Sehatkanlah ekonomi dengan konsep tepat lahan dalam wilayah negara. Jangan menjadi instrumen terbentuknya rente ekonomi, yang menjadi pendukung terbentuknya ketimpangan ekonomi baik dalam asset maupun penghasilan. Coba lihat data kekayaan asset finansial global sebesar lebih dari 600 trilyun dollar AS, dihadapkan pada PDB global sekitar 100 trilyun dollar AS. Dalam kekayaan finansial itu terdapat sejumlah yang merupakan turunan dari properti. Properti pada umumnya ada dalam wilayah perkotaan. Maka perencanaan kota harus mempertimbangkan aspek ekonomi, tidak hanya fisik planalogis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline