Lihat ke Halaman Asli

Djamester A. Simarmata

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Vital: Reformasi Sistem Perpajakan Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock) Trims utk ilustrasi ini"][/caption] Banyak yang terkejut memperoleh tagihan pajak bumi dan bangunan, PBB, yang meloncat tajam. Dari sisi formal, pengenaan pajak itu didasarkan pada peningkatan NJOP, sehingga terlihat mempunyai landasan legal. Tetapi dari sisi lain, perlu lebih dulu membicarakan apa arti pajak. UU menyatakan bahwa pajak harus dibayar setiap warga yang dikenainya. Tetapi sudut pandang lain, berdasarkan pengertian modern dari satu negara, maka pajak adalah merupakan pembayaran pelayanan dan barang publik yang diterima warga negara. Inilah padanan dari tuntutan konstitusional, bahwa negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang pada warganya, termasuk tentunya dalam bidang pajak. Inilah konsep vital dari para raksasa ahli kenegaraan, seperti John Loccke, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, dan sebagainya. Bila sementara ini membatasi diri pada PBB, maka pajak ini haruslah merupakan imbalan dari pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah, di mana salah satu yag vital darinya adalah jalan. Berdasarkan data DKI-Jakarta, satu fakta vital ialah kemacetan yang terus meningkat. Dari penelusuran lebih mendalam, satu dari banyak penyebabnya ialah kekurangan luas permukaan jalan, di mana untuk DKI hanya 6,5% luas kota. Dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia: Paris dan Melborune, 20%; New York dan Washington 23 %; London 18 %; Tokyo sebesar sekitar 15%, maka DKI-Jakarta sungguh under-under supplied. Sehingga dari sisi ini, DKI-Jakarta tidak menyediakan pelayanan memadai dalam pengadaan barang dan pelayanan publik terkait transportasi darat, yang merupakan landasan semua kegiatan dalam kota. Memang harus digarisbawahi, bahwa situasi carut-marut saat ini dari kekurangan luas permukaan jalan adalah merupakan akumulasi dosa-dosa gubernur sebelumnya, kecuali menurut saya Ali Sadikin. Pada tingkat DKI-Jakarta peningkatan PBB yang sangat erat dengan biaya pengadaan prasana dan pelayanan publik sungguh tidak tepat. Penentuan tarif pajak PBB ternyata telah merupakan pekerjaan pemerintah DKI mulai 2014 (koreksi), dan sebagian daerah telah dimulai pada tahun 2013. Penentuan NJOP  sebelumnya lebih ditentukan oleh Kemkeu. Tanpa terpaku pada siapa yang menentukan, peningkatan NJOP akan menjadikan pengembang merasa di atas angin sebab mereka selama ini menyatakan bahwa investasi yang pasti menguntungkan terus ialah dalam properti dan saat ini itu bermuara pada tren investasi tanah. Ini akan bersifat kontraproduktif terhadap ekonomi sebab makin sulit memperoleh lokasi bisnis yang tepat disertai biaya terjangkau, dan di sisi lain adalah makin sulitnya bagi orang kebanyakan memperoleh tempat bernaung untuk keluarga. Kenaikan harga tanah yang lebih dulu dirangsang oleh peningkatan NJOP melalui pajak PBB, menuntut kita perlu melihat sistem perpajakan secara menyeluruh. Antisipasi penurunan penerimaan keseluruhan pajak tahun ini kelihatannya dikompensasi dengan peningkatan PBB, sebab DKI takut akan menerima DAU, DAK yang menurun. Dalam hal PBB yang mempengaruhi harga tanah dan properti, Kemkeu dan Pemda harus bekerja sama untuk hindari gejala bubble harga properti, seperti terjadi di Indonesia tahun 1997. Dari sejarah krisis finansil dunia, krisis terkait properti lebih sering lebih parah dan lebih berkepanjangan, seperti dialami Jepang. Dan di sini peran pajak, PBB, dapat membawa efek tepat bila direndanakan dengan tepat. Sistem perpajakan Indonesia didominasi oleh PPH, baru oleh PPN, pajak SDA, dan lalu pajak-pajak lain, termasuk PBB. Struktur pajak yang mengutamakan PPH dari PPN di Indonesia, adalah kebalikan dari yang berlaku di negara Perancis misalnya. Dari data peningkatan NPWP tahun 2008 (kalau tidak salah) yang meningkat hampir lebih dari 300%, ternyata menyebabkan penerimaan pajak hanya bergerak naik amat minim. Berarti teori perpajakan yang mengatakan bahwa untuk menaikkan penerimaan pajak ialah dengan memperluas basis pajak (di sini dengan peningkatan NPWP) ternyata tidak tercapai. Oleh karenanya perlu ada instrumen lain, yang memang telah ada dalam teori perpajakan. Dalam kaitan ini, penulis telah mengusulkan sejak Anggito Abimanyu sebagai kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemkeu agar mengintensifkan sistem pajak PPN. Seandainya tarif PPN ditetapkan 10%, dengan asumsi PDB 10.000 trilyun rupiah, maka pajak akan menghasilkan sebanyak 1.000 trilyun rupiah. Bila konsumsi masyarakat rendah dianggap sepuluh persen dan bebas pajak, maka penerimaan negara masih dapat menduduki besaran 900 trilyun. Administrasi PPN lebih sederhana dari PPH, sehingga akan mendukung sistem yang lebih efisien serta sesuai dengan teori perluasan basis pajak. Data yang agak lama, penerimaan PPN Perancis lebih besar 50% dari PPH negeri itu. Sekarang kebanyakan negara OECD beralih dari dominasi PPH ke pajak PPN, kecuali Amerika Serikat. Perhitungan dan informasi sederhana ini kiranya mendukung tuntutan agar Indonesia melakukan reformsi sistem perpajakan nasional. Kemkeu baru-baru ini mengeluh bahwa penghasilan lembaga finansial tinggi, tetapi pajaknya kecil. Terlihat bahwa sang menteri tidak terlalu mendalami hal detil perhitungan pajak dari jenis-jenis penghasilan. Pada prinsipnya, dalil pajak yang perlu dikemukakan ialah kesamaan marginal-taxation pada semua penerimaan, apa itu dari hasil pekerjaan, dari hasil kegiatan bisnis, atau dalam bermain saham dan properti. Memang ada yang menentang pajak PPN sebab dianggap bersifat regresif dan tidak adil. Tetapi dari pengamatan mendetil atas masalahnya, kebanyakan sikap ini lebih bersifat prejudice. Dari prinsip pajak, bila tarif PPN seperti tadi sama untuk semua jenis barang misalnya 10 persen, maka ekonomi tidak mengalami perubahan harga relatif, sehingga tidak mengalami distorsi alokasi sumber daya ekonomi dari situasi saat diberlakukannya sistem tersebut. Berarti yang menjadi masalah apakah situasi ekonomi sebelum memberlakukan sistem pajak baru telah adil atau tidak? Bila tidak maka berarti reformasi pajak harus lebih dulu didahului oleh perombangan sistem ekonominya. Misalnya apakah sistem upah dalam ekonomi sudah tepat? Apakah ekonomi bukannya makin didominasi oleh tuntutan kapital untuk memperoleh tingkat pengembalian yang makin tinggi? Sistem ekonomi yang lebih baik ialah bila tingkat ketimpangan tidak terlalu besar, seperti sekarang ini. Intensifikasi perdangangan di dunia, seperti makin meningkatnya peran dari jaringan nilai tambah global (global value chains), ternyata diikuti oleh fakta perdagangan internasional bukan lagi didominasi perdagangan barang jadi melainkan oleh barang setengah jadi. Berarti yang terjadi adalah bahwa barang jadi merupakan buatan banyak negara. Demikianlah bahwa WTO mengusulkan istilah "made in the World", dan bukan lagi made in Indonesia, made in China, made in USA, dan sebagainya, seperti selama ini kita alami. Fenomena ini hanya tepat ditangkap oleh sistem pajak nilai tambah. Dari sedikit uraian itu, kiranya dapat dianggap cukup untuk memberi kesimpulan lain, bahwa rendahnya penerimaan pajak telah mendorong Pemda lebih menggalakkan PBB melalui peningkatan NJOP nya sebab antisipasi penurunan DAU, DAK, dsb. Ini tidak tepat sebab bila pengertian "pajak yang adalah harga dari pelayanan dan pengadaan barang publik yang disediakan pemerintah" maka telah terjadi pemaksaan sepihak dan berlawanan dengan "kontrak sosial". Atau apakah negara kita telah menjadi negara "otoriter?" Contoh jalan DKI sungguh nyata dan terlihat bahwa kemacetan DKI telah menjadi penyebab "high cost economy", baik bagi pemerintah, bisnis, dan masyarakat secara menyeluruh. Padda tingkat negara, banyaknya situasi rawan di negeri ini telah merupakan pertanda kegagalan pemerintah dalam melakukan tugasnya "untuk melindungi segenap warga negara" sesuai konstitusi. Rumus dasar sistem perpajakan yang baik ialah memperluas basis pajak, dan sistem pajak yang didominasi PPH ternyata tidak memenuhi harapan ini, dan langkah menggesernya ke pajak PBB adalah langkah yang mempunyai dampak balik kontraproduktif dalam banyak aspek: peningkatan kebutuhan modal untuk berusaha, kesulitan masyarakat bawah memperoleh perumahan yang layak, mendorong orang makin banyak menanam uang dalam bisnis tanah yang dari sisi ekonomi tidak produktif, menyebabkan pergeseran investasi dari sektor "tradable goods" ke sektor "non-tradable goods". Sistem utak-atik perpajakan seperti ini sungguh tidak elok dan akan menjauhkan ekonomi dari kinerja optimal dan efisien. Seandainya penerimaan pajak Pemerintah Pusat cukup tinggi, maka dorongan menaikkan PBB mungkin tidak semendesak saat ini, di mana memang DKI banyak mempunyai program besar. Jadi ada korelasi penerimaan pajak Pusat dengan peningkatan pajak lokal, sebab memang PPH dan PPN adalah sumber pajak paling tinggi dalam semua negara di dunia. Untuk presiden yang akan datang, dan juga parlemennya, lakukanlah kajian lalu reformasi sistem perpajakan Indonesia dengan sasaran sistem pajak yang lebih adil tetapi juga adalah yang lebih produktif. MERDEKA




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline