Dari peta MRT DKI, terlihat bahwa batas cakupannya adalah batas administrasi DKI. Padahal efisiensi sistem transportasi pada umumnya, khususnya angkutan publik tidak mengikuti batas administrasi. Oleh karena itu dalam paling tidak dua bidang" angkutan publik dan daerh aliran sungai dituntut melakukan DE-DESENTRALISASI. Dalam hal angkutan publik, maka kerangka sistemnya harusnya ialah wilayah JADETABEK, atau malah JABODETABEK.
Dengan mengacu pada sistem angkutan publik Paris dan sekitarnya, orang bila melihat wilayah cakupan itu melebihi wilayah lingkaran dengan jari-jari sekitar atau lebih dari 40 km. Bentuk pengelolaan sistem angkutan publik ialah OTORITA. Sistem angkutan publik terintegrasi sedemikian sehingga karcis 1 (satu) jam atau lebih dapat digunakan walaupun berpindah dari satu moda angkutan ke angkutan lain. Dalam filosofi angkutan publik di sana disebut adanya hak azasi angkutan publik. Di Jakarta, ada tempat tempat yang jaraknya dapat hanya 5 km, tetapi harus berganti angkutan umum sampai 3 kali, sedang dari Cililitan ke Tg Priok yang lebih dari 10 km hanya bayar RP 3500. Di Jakarta ada tempat-tempat yang secara spasial menerima ketidakadilan spasial.
Selain itu, konsep subsidi dalam BUSWAY masih salah, sebab yang obyek yang disubsidi adalah berdasarkan jumlah penumpang, yang dari sudut pengusahaan adalah REVENUE CENTER. Seharusnya yang disubsidi adalah unit prodduksinya, COST CENTER, berarti berapa defisitnya. Masih banyak yang perlu dibenahi dalam sistem angkutan DKI, dan gubernur DKI perlu memperhatikan masalah ini, selain hal-hal yang bersifat fisik misalnya luas jalan yang tidak cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H