Lihat ke Halaman Asli

Sulitnya Menciptakan BUMN Kelas Dunia

Diperbarui: 9 November 2017   10:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BUMN & Potensi ASEAN

Beberapa waktu yang lalu ramai dengan isu "Kadin" protes dominasi BUMN. Dalam sebuah talkshow di Televisi, nampak gemas betul Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Suryani F Motik dengan dominasi BUMN. Di sisi lain, pembelaan dari Fajar Hari Sampurno salah satu Deputi Kementerian BUMN dan Said Didu mantan Sekretaris Kementerian BUMN bahwa dominasi BUMN tidak melanggar UU. Pembahasan lalu mengarah pada keterlibatan BUMN dalam proyek skala kecil dibawah Rp 100 miliar yang menggunakan anak usaha maupun cucu usaha. 

Di era reformasi BUMN beranak pinak bahkan sampai Cicit Usaha, lini usaha berkembang tidak hanya integrasi vertikal (baca : sejalan dengan bisnis utama BUMN induk) tetapi juga integrasi horizontal (bisnis baru yang tidak menopang bisnis induk dengan tujuan mengoptimalkan asset yang dimiliki).  Maka tidak heran, hampir semua BUMN mulai merambah ke bisnis properti. Jika PT Pos Indonesia atau PT Kereta Api Indonesia berbisnis properti masih masuk akal karena memiliki aset di kota strategis sesuai dengan perjalanan bisnis induknya. Namun, jika menilik PT Timah (Persero) Tbk perusahaan tambang Timah yang notabene wilayah operasi di Bangka Belitung, namun di tahun 2017 meluncurkan proyek perumahan di Bekasi Timur tentu adalah hal yang mencengangkan. 

BUMN Karya hampir dikatakan menyapu bersih proyek infrastruktur Pemerintahan Jokowi , memang diantaranya adalah penugasan kepada PT Hutama Karya maupun PT Waskita Karya, namun mayoritas dapat dikatakan proyek infrastruktur dipastikan jatuh ke tangan BUMN Karya. Saat ini tidak terdengar adanya BUMN Karya yang dulu aktif menggarap proyek di luar negeri, khususnya di Middle East (Timur Tengah) dan negeri Magribi (Afrika Utara).

BUMN saat ini benar-benar jago kandang dan apakah ini menyebabkan kurang terdistribusinya manfaat ekonomi pembangunan yang menyebabkan daya beli masyarakat turun?. Bisa iya dan bisa tidak. Toh iya, tentu pengaruhnya sangat kecil karena proyek Pemerintah yang digarap BUMN tentu dibandingkan PDB Indonesia yang mencapai lebih dari Rp 10.000 triliun, maka angka proyek sebesar Rp 200 triliun adalah kecil karena hanya 2% dari PDB. 

Beda Gaya Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Rini Suwandi

Pada era Dahlan Iskan keberadaan BUMN didorong untuk berkembang 2 sisi, dan mendorong ekspansi ke luar negeri adalah salah satu tolok ukur kinerja yang digenjot Dahlan Iskan. Maka di era Dahlan Iskan (era SBY) perusahaan BUMN Karya aktif ekspansi ke luar negeri khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di era Dahlan Iskan pula pecah telur salah satu BUMN menjadi Multi National Company (MNC) yaitu PT Semen Indonesia (Persero) Tbk yang berhasil mencatatkan sebagai BUMN pertama Go Internasional berstatus MNC dengan mengakusisisi perusahaan semen Vietnam Thang Long Cement Company (TLCC) setelah sebelumnya berhasil membangun pabrik Semen Tuban IV dan pabrik Semen Tonasa V dengan swakelola dan menjadi perusahaan semen terbesar di tanah air. Akuisisi Tang Long Cement Company (TLCC) Vietnam menjadikan Semen Indonesia menjadi raja semen Asia Tenggara mengalahkan Siam Cement dari Thailand dibawah kepemimpinan Dirut Dwi Soetjipto.

Upaya meningkatkan citra BUMN untuk yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak seperti Pertamina dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) juga digenjot Dahlan Iskan, sayangnya untuk Pertamina belum ada keberhasilan yang nyata karena kuatnya Mafia Migas dan tidak adanya langkah terobosan yang ada di manajemen Pertamina saat itu, sehingga meskipun Dahlan Iskan rajin keliling Timur Tengah dan Asia Tengah maka relatif tidak memberikan hasil yang berarti, terlebih saat itu ditahun 2010 sd 2014 awal adalah masa-masa emas tingginya harga minyak mentah dunia, yang tentu saja tanpa bekerja keras Pertamina sudah banjir pendapatan sehingga kurang tertarik dengan upaya memperkuat bisnis hilir. Untuk KAI siapa tidak kenal dengan Ignasius Jonan yang merubah wajah KAI menjadi 180 derajat. KAI yang dikenal sangat buruk pelayanan, jam karet dan merugi menjadi perusahaan yang sangat baik pelayanan dan menguntungkan. Bahkan pada suatu kesempatan Dahlan Iskan menyatakan toilet stasiun Gambir lebih baik dibandingkan toilet bandara. 

Era BUMN dibawah Menteri Rini Suwandi sebenarnya diuntungkan dengan kebijakan Jokowi yang gencar membangun infrastruktur untuk konektivitas dan program berdaulat energi. Maka dengan APBN yang didominasi belanja infrastruktur untuk jalan, pelabuhan ,kereta api, bendungan , listrik dan lainnya, serta keberanian Jokowi mendorong menggunakan dana pinjaman (hutang) untuk investasi maka ibaratnya "BUMN" menjadi yang terdepan untuk mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut. Lihat kinerja PT Waskita Karya dibawah nahkoda Muhammad Choliq yang moncer karena mendapatkan penugasan serta suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang besar.

Nampak pula Pertamina yang berani lari kencang dibawah nahkoda Dwi Soetjipto yang setelah berhasil menstabilkan kondisi kinerja Pertamina saat minyak mentah dunia terus jatuh dibawah USD 30 per barrel, sedangkan saat itu keuntungan Pertamina sebesar 70% berasal dari sektor hulu yang sangat tergantung harga minyak dunia. Pada masa turbulensi tahun 2015 keuntungan Pertamina hanya turun 2% disaat pendapatan anjlok lebih dari 30%. Langkah Pertamina selanjutnya adalah membangun kemandirian energi nasional dengan mega proyek kilang minyak untuk meningkatkan kapasitas 800 ribu barrel perhari menjadi 2 juta barrel perhari di tahun 2023, pada saat bersamaan mampu meningkatkan efisiensi operasional dan membubarkan mafia migas dengan pembubaran Petral sehingga di tahun 2016 Pertamina mencatatkan keuntungan terbesar sepanjang sejarah dan yaitu sebesar USD 3,15 miliar atau setara dengan Rp 42 triliun sekaligus mengalahkan keuntungan Petronas untuk pertama kalinya sejak era reformasi.

Salah Urus, Kinerja BUMN Jagoan Menjadi Anjlok

Judul diatas menggambarkan bahwa pondasi BUMN mulai goyah. Bagaimana Semen Indonesia kinerja di tahun 2016 stagnan lalu di 2017 anjlok dengan mencatatkan keuntungan hanya Rp 1 triliun di semester pertama 2017, artinya diprediksi keuntungan 2017 hanya dikisaran Rp 2,5 triliun. Sedangkan keuntungan tahun 2016 mencapai Rp 4 triliun, atau ditarik mundur lagi di tahun 2013 sempat mencatatkan keuntungan tertinggi yang pernah diraih yaitu Rp 5,6 triliun. Asset bertambah denga mulai beroperasinya pabrik semen Indarung VI dan pabrik Semen Rembang namun kinerja justru turun. Kebijakan Pemerintah untuk Semen Satu Harga di Papua yang harus didukung BUMN termasuk Semen Indonesia tidak diikuti dengan pemberian kebijakan yang memungkinkan Semen Indonesia diperlakukan fair dalam melaksanakan usahanya. Semisal di Rembang, bagaimana proyek pabrik yang sudah selesai dengan investasi Rp 5 triliun tidak bisa beroperasi secara maksimal karena oleh Pemerintah (baca : Kantor Staf Kepresidenan) dilarang menambang di sekitar pabrik dengan alasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) belum rampung. Molorr...molorr dari rencana bulan Agustus, artinya dengan tidak ada kepastian maka pabrik Semen Rembang menjadi tidak ekonomis. Bagaimana pembelaan Kementerian BUMN?...Nyaris tidak ada......... Mestinya sebagai pemegang saham mendorong Direksi Semen Indonesia gunakan segala daya upaya, termasuk mendorong Direksi berani mulai menambang di areal pabrik Semen Rembang karena tidak ada larangan. Kedudukan KLHS adalah rekomendasi yang tidak memiliki kekuatan hukum tetapi hanya sebatas kekuatan politik karena merupakan inisiasi dari Kantor Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki. Sebagai pemegang saham lebih mementingkan kedudukannya dalam konteks politik, mestinya salah satu kriteria kinerja Kementerian BUMN adalah sejalan dengan kinerja BUMN. Jika Semen Rembang macet, maka salah satu yang disalahkan adalah Kementerian BUMN.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline