Lihat ke Halaman Asli

Mengatasi Pelemahan Rupiah dan Turunnya Pertumbuhan Ekonomi

Diperbarui: 27 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat kepercayaan terhadap penentu kebijakan ekonomi menurun, baik dalam menstabilkan nilai rupiah maupun mengatasi pelemahan ekonomi, tekanan terhadap rupiah semakin besar dengan investor menjual obligasi dan saham. Korelasi paling kuat adalah antara pelemahan nilai rupiah dengan peningkatan yield SUN 10 tahun. Akibatnya nilai rupiah semakin terdepresiasi. Pelemahan rupiah telah meresahkan pelaku ekonomi dan mengena kepada aspek fundamental perusahaan, apalagi pada saat kinerja perusahaan sedang melemah. Sementara itu, dengan masih lemahnya ekonomi dunia, pelemahan rupiah tidak dapat mendorong ekspor. Bank Indonesia (BI) sebagai penjaga utama stabilitas nilai rupiah, tidak dapat berbuat banyak menghadapi pelemahan rupiah, pada saat defisit transaksi berjalan masih relatif tinggi sekitar 2,8 persen dari produk domestik bruto. Dengan cadangan devisa yang sangat terbatas sekitar 110 miliar dollar AS, BI tidak dapat melakukan intervensi secara signifikan. BI juga tak dapat membeli obligasi yang dilepas investor secara berarti, seperti masa lalu. Berbeda dengan bank sentral lain, seperti India, Korea, dan Australia yang menurunkan suku bunga untuk menstimulasi ekonomi, BI tidak dapat melakukannya karena akan semakin menekan nilai rupiah. Bahkan jika The Fed menaikkan suku bunga, BI kemungkinan besar juga akan menaikkan BI Rate.

Inflasi juga meningkat menjadi 7,1. Persen. Memasuki Ramadhan, dorongan inflasi akan lebih tinggi lagi. Kemampuan untuk mengendalikan inflasi terutama dalam menjaga stabilitas harga pangan kembali bermasalah, dengan ketidakjelasan dalam kebijakan pengendalian harga, antara impor dengan mengandalkan pasokan dalam negeri. Keharusan menggunakan rupiah untuk transaksi dalam negeri adalah baik untuk mengurangi permintaan dollar. Namun, implikasi negatifnya (unintended consequences) bisa justru semakin melemahkan rupiah dan mendorong inflasi paling tidak dalam jangka pendek. Penggunaan rupiah membuat perusahaan melakukan hitungan biaya bunga dalam rupiah yang menjadi lebih besar dan antisipasi depresiasi yang menambah tekanan kepada rupiah (biaya bunga dalam rupiah ditambah perkiraan depresiasi paling tidak sekitar 15 persen). Jika depresiasi berlanjut seiring dengan pelemahan ekonomi, tidak saja akan menaikkan kredit bermasalah (NPL), tetapi juga mendorong debitor untuk memilih jalan "ngemplang" (default) daripada restrukturisasi memanfaatkan lemahnya perangkat hukum. Akibatnya resiko sistemik akan meningkat. Rencana BI melonggarkan LTV (loan to value) atau menurunkan uang muka kredit rumah dan kendaraan bermotor membantu penjualan, namun kemungkinan pengaruhnya relatif terbatas. Masyarakat berpendapatan tinggi tidak terpengaruh dengan pelonggaran ini karena tidak menggunakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, bermanfaat bagi pembeli rumah pertama.

Pelemahan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 4,7 persen pada triwulan I-2015 dari 5,02 persen pada triwulan IV-2015. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang menjadi basis utama ekonomi juga menurun. Penjualan eceran sekalipun masih tumbuh positif, tetapi turun cukup tajam. Penjualan kendaraan bermotor dan semen bahkan pertumbuhannya negatif. Pertumbuhan investasi menurun. Belanja pemerintah turun lebih dalam lagi. Padahal, investasi yang dihadapkan dapat mendorong pemerintah, dan belanja modal pemerintah sebagai pemberi stimulasi. Pertumbuhan kredit perbankan juga menurun menjadi sekitar 10 persen. Sementara itu, dana pihak ketiga meningkat sekitar 14 persen. Ini menunjukkan kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit di satu sisi dan di lain sisi menurunnya permintaan kredit karena melemahnya perekonomian. Di sisi lain, otoritas fiskal belum melakukan langkah optimal untuk menstimulasi ekonomi yang melemah. Pesan untuk menggenjot penerimaan pajak yang ditargetkan naik sekitar 30 persen lebih keras terdengar daripada insentif pajak, seperti deviden yang diinvestasikan, insentif pajak untuk sektor tertentu, dan penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk impor tertentu. Pelaku ekonomi dan masyarakat tampak sangat khawatir menjadi sasaran pajak sehingga berpengaruh menurunkan aktivitas ekonomi dan bisnis mereka.

Ekonomi Diutamakan

Pada saat ekonomi melemah, maka kebijakan fiskal semestinya mengutamakan stimulasi ekonomi. Peningkatan penerimaan pajak penting untuk membiayai pembangunan, namun memaksakan pada saat ekonomi menurun menjadi semakin melemahkan ekonomi. Reformasi pajak semestinya dilakukan secara sistematis dan dalam jangka panjang bukan dengan berbagai kejutan. Kekurangan penerimaan pajak dapat diatasi dengan penerbitan obligasi dan pinjaman dari lembaga multilateral. Pengembangan industri manufaktur diarahkan kepada pengembangan rantai pasokan global (global supply chain). Peningkatan kandungan lokal dan produk dalam negeri disesuaikan dengan tahapan kemampuan, konsisten, tidak berubah- ubah, dan tidak justru menghambat pertumbuhan industri itu sendiri.

Dengan kemungkinan tidak tercapainya penerimaan pajak dan ruang fiskal dari penghapusan subsidi BBM tidak sebesar perkiraan semula, maka pembangunan infrastruktur haruslah selektif, terutama yang mendorong investasi dan mengatasi hambatan distribusi, serta mempunyai kemungkinan besar untuk terlaksana dengan baik. Rumit dan lambannya birokrasi serta akuntabilitas yang ketat, pembangunan infrastruktur akan lebih cepat dilakukan dengan PPP (public private partnership), dengan melibatkan BUMN (dengan penambahan modal) dan swasta. Dengan begitu, diharapkan pemerintah dapat mengatasi pelemahan rupiah dan dapat mengutamakan sektor ekonomi dalam rangka meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi dan menguatkan nilai rupiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline