Lihat ke Halaman Asli

Seberapa Berpengaruh Harga Minyak Dengan Harga Sembako?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14280469211317864293

4.3.2015

Karena reaksi yang baik dari tulisan sebelumnya, saya membuat ‘sambungan’ tentang topik yang berkaitan. Seperti sebelumnya, saya akan membawa beberapa data yang menunjukkan perbedaan antara khayalan, karang-karangan, dengan kenyataan. Namun, tidak seperti tulisan yang dulu, saya tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan, namun hanya akan menyatakan sebagian opini saya. Saya bukan ahli ekonomi atau statistik benaran (oke, yang kedua tidak sepenuhnya benar. Saya mempelajari ilmu probabilitas, tapi itu lain cerita), jadi penafsiran data adalah sepanjang pengetahuan saja. Anggap saja obrolan kelas warung kopi sambil pegang buku.

Sejak November kemarin, penetapan harga BBM yang didasarkan oleh harga pasar dunia telah memicu kebingungan, entah benar atau hanya pura-pura, dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, pengamat, sampai rakyat biasa. Contoh:

Ada sedikit salah pengertian di sini. Pertama, pemerintah tidak menyerahkan harga BBM ke pasar. Harga jual premium, berbeda dengan Pertamax, akan tetap ditentukan pemerintah. Kebijakan baru hanyalah bahwa waktu dan besar penyesuaian dipengaruhi oleh kondisi pasar. Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama, pemerintah tidak berniat untuk sepenuhnya mengikuti pola pasar, karena akan ditetapkan batas-batas harga. Jadi, jika harga sudah terlalu tinggi, harga jual akan ditahan dengan memperbesar subsidi. Kemungkinan besarnya diatas 8500.

Dari opini pribadi saya yang sudah tercemar oleh pikiran neolib (maklum, pembaca koran dari Barat), naik turunnya harga BBM (atau apapun) sebenarnya normal, malah justru alamiah. Pengembangan ekonomi, lepas dari kejutan awal dari perubahan, akan menjadi lebih terarah dan masuk akal. Sebagai contoh, penggunaan mesin/peralatan berbahan bakar minyak akan menjadi kurang menguntungkan.

Namun saya terkejut setiap membaca berita tentang kenaikan harga yang diakibatkan oleh perubahan harga BBM Sabtu (28.3) yang lalu. Sebagai contoh, kita ambil tarif angkutan umum. Kemarin ketika BBM naik di bulan November, tarif angkutan sudah naik 1000 di Jakarta. Sekarang, walaupun tanpa restu dari menteri perhubungan, tarif kendaraan sudah ada yang naik. Kok bisa? Kan harga kemarin sudah disetujui untuk harga bensin 8500, kenapa sekarang ketika harga di bawah naik lagi? Apakah ini efek pelemahan Rupiah yang membuat harga suku cadang meningkat? Saya tidak tahu.

Untuk banyak harga kebutuhan pokok lainnya, seperti sudah saya bahas sebelumnya, catatan Kementrian Perdagangan tidak memperlihatkan perubahan yang luar biasa seperti diteriakkan banyak orang (Data bisa dilihat disini). Tapi memang ada dinamika yang (mungkin) agak aneh: penurunan harga tidak langsung tercermin di harga barang lainnya.

Sebagai pembanding, marilah kita tengok beberapa negara lain yang harga bensinnya mengikuti harga pasar. Berikut adalah pergerakan harga bensin di AS (angka persis tidak penting, tapi pergerakannya menggambarkan):

[caption id="attachment_358913" align="aligncenter" width="592" caption="Harga bensin di AS 6 bulan terakhir. Sumber:gasbuddy.com"][/caption]


Sekarang kita bandingkan dengan suatu ukuran yang disebut Indeks Harga Konsumen (IHK), yaitu semacam pengukur inflasi jika diukur dengan perbandingan nilai sekarang terhadap satu titik lampau (misal tahun 1990) dari barang dan jasa yang lazim dikonsumsi di sebuah negara. Berturut-turut adalah AS, Jerman, dan Indonesia (Indonesia dengan tingkat inflasi):

[caption id="attachment_358914" align="aligncenter" width="606" caption="IHK di AS, kolom adalah bulan. Sumber:bls.gov"]

14280470311357560709

[/caption]

[caption id="attachment_358915" align="aligncenter" width="466" caption="IHK Jerman, kolom 2 IHK umum, kolom 3 khusus bahan makanan. Sumber:destatis.de"]

14280471011864187125

[/caption]

[caption id="attachment_358916" align="aligncenter" width="438" caption="Inflasi Indonesia per bulan. Warna hijau tahun 2014. Sumber:bps.go.id"]

1428047246569733258

[/caption]

Pertama, terlihat bahwa harga di Indonesia tidak bergerak secara alamiah: ada kenaikan tajam di akhir tahun sebagai akibat kenaikan harga 4000. Namun jika kita cermati, pergerakan di AS dari bulan tinggi (Oktober, kolom ketiga dari kanan) dibanding bulan terendah (kolom terakhir) tidak turun luar biasa, sekitar 1,5% dibanding dengan harga bensin yang turun lebih dari sepertiga. Saya artikan, di negara dengan infrastruktur yang rapi, ongkos transpor dan bahan cukup rendah sehingga perubahan harga bensin tidak berpengaruh banyak.

Lalu mengapa di Indonesia bisa begini? Disinilah tebakan mulai bermain. Saya belum menemukan studi besarnya komponen transpor dari biaya produksi atau pelayanan, tapi melihat kondisi infrastruktur yang jauh sekali dari mumpuni, tebakan saya adalah signifikan, sehingga perubahan harga akan terasa. Ini (mungkin) penyebab kenaikan harga. Lebih jauh seharusnya menjadi bahan studi universitas (sedikitnya bahan tesis mahasiswa aktivis lah)

Di sisi lain, saya menduga kelemahan pemerintah menghadapi kartel-kartel komoditas menyebabkan harga-harga menjadi tidak stabil. Pada sistem yang sempurna, biarpun harga bensin bisa naik turun, namun, seperti semua harga, akan ada perkiraan yang masuk akal sehingga semua orang bisa mendasarkan hitungan pada harga ini. Dengan begitu, efek fluktuasi kecil akan teredam karena pelaku pasar sudah mendapat margin yang aman. Pada kenyataannya, banyak yang menebar ketakutan bahwa tiap naiknya harga BBM akan menjadi pemicu kenaikan harga-harga. Walaupun terdengar tidak masuk akal dan hanya fenomena sementara sampai orang bisa mengatur ulang strategi perencanaannya, jika sistem pasar tidak diawasi, ada kemungkinan hal ini terjadi. Sebagai contoh, hal demikian sudah terjadi pada harga angkutan, dimana sopir (dan tentunya pemilik kendaraan) menggunakan kekuatan bersama untuk memaksakan harga yang hitungannya tidak pernah jelas.

Lepas dari segalanya, pergerakan harga BBM ini adalah suatu kenyataan baru, untuknya kita harus menyesuaikan diri. Seperti alasan yang saya kemukakan, ketakutan kalau harga naik setiap bensin naik seharusnya tidak beralasan. Negara yang lain sudah berhasil melaksanakannya, bahkan sejak mereka (relatif) miskin (seperti AS zaman dulu). Kini adalah saat Indonesia untuk mengatur ulang arah pembangunannya. Siapkah kita?

Sumber-sumber: bps.go.id , grafik-grafik; Sumber Jerman; Sumber AS, lihat halaman 90




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline