Lihat ke Halaman Asli

Cerita Senja, Langit, dan Senyuman

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya aku tertawa, pada lelucon tersedih yang pernah ada.
Kau pasti bercanda!
Mencampakkanku akan jadi dosa terbesar sejagad raya, versi otak seorang wanita.

Mungkin kita berbeda, sesuai takdir semesta. Siapa yang menciptakan kotak ini sejak mula?
Tidak lagi mencari cela, tidak pula mengukur dalamnya makna pada warna hazel bola mata.

Sejak kapan anda menjadi begitu perasa? Tidak pernah percaya pada gemini bermuka dua.
Mencari-cari bintang ke-enam pada cassiopeia, ada? Tidak, karena rasinya hanya akan ada lima.

Dimana akan ada cahaya abadi di dunia? Bersujudlah pada senja, lelahmu hanya akan percuma, mentari memang harus menghilang setelahnya.
Sejak suatu ketika terjadi ketetapan kata, redup sudah sinar ribuan kunang-kunang di taman hati yang kucipta.

Berakhir bagiku, berarti selamanya.
Mungkin ini karma. Tak apa, setidaknya bagiku pernah tersita segalanya.

Selamat datang selamat tinggal...

(Beberapa karya membuatku sulit bernafas dan berkata-kata, beberapa membuatku tak bisa tidur dan menerka-nerka, saat beberapa membuatku berkepribadian ganda.
Diva. Bodhi. Ester. Zahra. I love them. SO. MUCH. Dewi Lestari akan selalu menjadi salah seorang yang mampu menciptakan mozaik aneh dalam fantasiku. Aku sedih, bahagia, jatuh cinta, dalam satu kedipan mata. Kali ini aku banyak bicara, ini pribadiku yang mana?

Keping 40 - Aku membenci Storm, sekaligus mengutuknya. Terlalu terbuai dengan rasa bahagia, tidak ada yang abadi, aku baru menyadarinya. Rasanya ingin kembali pada kesederhanaan kasih dalam terjemahan Empret pada Etra)

asap rokok terbang melayang

terbang meroket merajut sebuah kematian

jika senja sudah tiba hingar bingar ibu kota pun mulai terasa

orang orang seolah berdiam menikmati secangkir kopi dan sebagian diantaranya ada yang masih bergelut melawan kejamnya senja yang tidak mau toleransi untuk berhenti sejenak demi mendapatkan seonggok beras untuk anak anaknya yang menunggu penuh harap di gubuk yang mereka bangun dengan cinta

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline