Di malam yang sunyi ketika bulan mulai menampakkan sinarnya, disaat orang lain terlelap dalam tidurnya, aku masih sibuk berkutat dengan buku-buku dan kertas-kertas yang berserakan. Aku gerakan penaku dengan jari jemariku, dengan lincahnya pena itu menari diatas selembar putih bersampul biru warna favoritku. Semakin lama tulisan tinta hitam telah memenuhi lembaran kertasku, kurasakan jari jemariku mulai pegal, mataku yang mulai berat dan penglihatanku kabur. Akhirnya ku hempaskan tubuhku terbaring diantara kertas-kertas yang berserakan, ku alihkan pandanganku ke atas langit-langit. Hingga terlintas pertanyaan dalam pikiranku " ini kan yg aku mau ?" Ucapku pada diriku sendiri.
" Ya , memang ini proses yang aku mau". Jawabku lagi dalam hati.
Memang lelah sangat lelah belajar di usia yg memang pikiran kita tidak sebatas belajar namun sudah bercabang ke mana-mana, beda dengan belajar di masa SMA yang masih banyak bercanda. Tapi tak akan aku sia-sia kan kesempatan ini, masih banyak orang lain yg mau duduk dibangku kuliah namun semesta tidak mengizinkannya, sama seperti halnya diriku, dulu aku sempat menunda impian duduk dibangku kuliah ini karena faktor ekonomi hingga saat itu setelah lulus SMA aku mengubur impian ku dan melanjutkan hidupku dengan merantau ke salah satu kota metropolitan untuk bekerja.
Aku bekerja selama 6 bulan, mengadu nasib dan bersaing dengan ribuan orang-orang disana. Aku sempat berpikir akan mencari kesempatan untuk kuliah sambil bekerja. Namun, nyatanya realita tidak seindah itu setiap hari aku digempur habis-habisan dengan pekerjaan yang melelahkan selama 12 jam kadang lebih dan yang paling aku kesalkan dalam pekerjaan ku tidak ada tanggal merah. Sehingga aku tidak punya waktu untuk mencari kesempatan kuliah itu bahkan untuk sekedar liburan pun aku tak pernah.
aku dipaksa kuat setiap harinya, berusaha tersenyum tulus ketika aku menghubungi orang-orang tersayangku di kampung halaman sana. Namun nyatanya aku selalu menangis setiap malam, aku tumpahkan semua rasa sakit, lelah, dan perihnya kehidupan ini kepada Dia sang pemilik kehidupan. Aku berusaha membujuk-Nya dan meminta kasih sayang-Nya untuk ku, hingga aku tersadar bahwa memang disaat kita terpuruk Dia selalu ada dan tidak pernah meninggalkan seorang hamba-Nya.
Ntah dorongan dari mana dan angin dari mana tapi ku yakin ini adalah kasih sayang-Nya kepadaku sehingga malam itu orang tua ku menelpon ku dan memintaku untuk berdiskusi hingga akhirnya memintaku untuk resign dan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan pendidikanku. Aku sangat senang sekali, aku merasa impian yang telah aku kubur kini hadir kembali dengan semangat yang lebih menggebu.
Akhirnya aku mendaftar di salah satu sekolah tinggi agama islam di kota terdekatku. Meskipun kampusku tidak sebesar kampus diluaran sana, tapi aku tidak pernah malu dan merasa kurang bersyukur justru aku sangat bersyukur karna diberi kesempatan untuk duduk dibangku perkuliahan. Karena kualitas diri tidak tergantung pada seberapa besar dan megah sebuah bangunannya namun kualitas diri tercermin bagaimana kamu memperlakukan orang lain setelah kamu mendapat gelar mahasiswa itu dan mencerminkan sikap sebagaimana akhlak dan hasil pendidikan mu selama ini.
Braakkk... Aku terkejut dan tersadar dalam lamunanku, ku lihat jendelaku yang terbuka karena kencangnya angin diluar sana,aku pun segera menutup jendelaku. Lalu kulihat lembaran kertasku yang belum selesai, cepat-cepat aku mengambil penaku kembali dan ku gerakkan jari jemariku dengan lincahnya menari diatas kertas, hingga akhirnya tinta hitam itu telah memenuhi kertasku. Ku lihat kertasku yang telah tertuang hasil tulisanku didalam sana, akupun tersenyum dan berkata lirih di dalam hatiku " mari kita selesaikan setengah perjuangan ini,perjuangan ini belum selesai, mari kita selesaikan dengan ending aku berpose dengan memakai toga dan kedua orang tuaku berada disamping kanan kiriku".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H