Lihat ke Halaman Asli

Silvia Putri

Universitas Airlangga

Kawin Tangkap, Budaya Kekerasan Terhadap Perempuan

Diperbarui: 9 Juni 2024   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kawin Tangkap, atau yang dalam bahasa daerah Sumba dikenal sebagai yappa mawine, secara harfiah berarti "culik perempuan." Tradisi ini melibatkan seorang lelaki yang menangkap atau mengambil perempuan untuk dijadikan istri. Meski terdengar kasar, praktik ini memiliki sejarah dan konteks adat yang perlu dipahami.

Dalam tradisi lama Sumba, kawin tangkap bukanlah praktik yang dilakukan sembarangan. Biasanya, tradisi ini dipilih untuk mempercepat urusan adat agar tidak memakan waktu dan biaya yang banyak. Sebelum kawin tangkap dilaksanakan, keluarga kedua calon mempelai sudah membuat perjanjian dan saling mengetahui rencana tersebut. 

Ada juga situasi di mana keluarga laki-laki menggunakan kawin tangkap sebagai solusi ketika tidak bisa mencapai kesepakatan adat dengan keluarga perempuan. Dalam kasus ini, keluarga perempuan mungkin tidak mengetahui rencana tersebut, tetapi setelah perempuan diculik, barulah keluarga menyerah dan kesepakatan adat tercapai.

Pada praktiknya, perempuan yang akan ditangkap mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan mengenakan pakaian adat lengkap. Pria yang akan menangkap juga mengenakan pakaian adat dan menunggang kuda Sumba berhias kain adat. 

Setelah perempuan ditangkap, pihak laki-laki membawa kuda dan parang Sumba ke pihak perempuan sebagai simbol permintaan maaf dan mengabarkan bahwa perempuan sudah aman di rumah pihak laki-laki. Jika tradisi ini dijalankan sesuai adat, tidak ada paksaan dan perempuan diperlakukan dengan hormat.

Namun, praktik kawin tangkap dewasa ini telah melenceng dari nilai-nilai budaya aslinya. Kini, kawin tangkap lebih mirip dengan penculikan yang mengatasnamakan tradisi. Perempuan seringkali ditangkap di tempat umum dan dipaksa menikahi penculiknya. Hal ini merendahkan martabat perempuan dan merusak nama baik tradisi Sumba yang sakral.

Tradisi kawin tangkap tidak hanya merugikan perempuan di Sumba dan Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Di masyarakat Romawi dan Yunani kuno, penculikan perempuan untuk dinikahi adalah praktik yang dikenal. Di Eropa abad pertengahan, penculikan perempuan untuk meningkatkan status sosial laki-laki juga umum terjadi. 

Caroline Dunn dalam bukunya 'Stolen Women in Medieval England' (2013) menjelaskan bahwa dalam kasus kawin tangkap, pemerkosaan dan penculikan sering kali tumpang tindih karena penculik sering memperkosa korban agar korban merasa malu dan terjebak dalam perkawinan.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, menyatakan bahwa kawin tangkap yang dilakukan saat ini tergolong tindak kekerasan. Ia menekankan bahwa budaya patriarki dapat bertransformasi menjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. 

Budi Wahyuni mempertanyakan apakah budaya kekerasan terhadap perempuan akan terus dibiarkan, dan menegaskan bahwa pelestarian budaya harus dibedakan dari kekerasan terhadap perempuan.

Akhirnya pada tahun 2020, Pejabat Pemerintah Daerah Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menandatangani kesepakatan menolak praktek kawin tangkap untuk meningkatkan perlindungan perempuan dan anak. Kesepakatan ini muncul setelah video viral pada Juni 2020 yang memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria dalam praktik kawin tangkap.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline