Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menolak 16 berkas partai politik sebagai peserta pemilu 2024, karena dinilai gagal melengkapi berkas hingga batas waktu pendaftaran pada 14 Agustus lalu. Dari ke 16 parpol tersebut salah satu diantaranya adalah partai "Beringin Karya" atau yang biasa disebut dengan partai "Berkarya"
Sama hal nya dengan partai prima yang menggugat kpu pada 8 Desember lalu akibat dari ketidakpuasan hasil penetapan kpu terhadap parpol yang lolos tahap verifikasi berkas calon peserta pemilu 2024, kini partai berkarya juga dikabarkan telah menggugat kpu pada pengadilan negeri jakarta pusat dengan Nomor perkara 219/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst. (4/4/2023).
Jika kita lihat gugatan yang telah dilayangkan oleh partai berkarya, secara tidak langsung hampir sama dengan gugatan yang dilayangkan oleh partai prima desember lalu. mengapa tidak jika dilihat dari petitem gugatannya, terdapat gugatan dimana kpu dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH), Selain itu juga terdapat gugatan dimana partai berkarya ini menggugat kpu agar menunda pemilu dan memasukkannya sebagai peserta pemilu 2024 yang akan datang.
Hal tersebut tentu banyak menimbulkan kontroversi di pada kalangan. Karna hal tersebut memang dipandang bukan tindakan yang sepatutnya dilakukan, terutama pada poin penundaan pemilu. Karena hal itu sudah tentu jelas akan bertentangan dengan undang-undang dasar NKRI 1945, dimana uud telah mengamanatkan bahwa pemilihan umum dilakukan setiap 5 tahun sekali.
Kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah pengadilan negeri jakarta pusat berwenang dalam mengadili perkara yang berkaitan dengan hal tersebut?
Padahal sudah jelas bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara yang berkaitan dengan sengketa administrasi pemilu, Karnan yang berwenang itu adalah BAWASLU dan PTUN, lalu jika berkenaan dengan sengketa dari hasil pemilu, itu tidak lain adalah merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (pasal 24C ayat (1) UUD 1945). Selanjutnya berkenaan dengan penundaan pemilu sudah jelas bukan yurisdiksi dari pengadilan negeri. Karna pengadilan negeri tidak berwenang didalamnya.
Apalagi penundaan pemilu itu hanya dapat dilakukan pada saat tertentu saja, dimana situasi dan kondisi suatu negera memang tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya pemilihan umum. misalkan negara sedang mengalami bencana alam atau peperangan.
Oleh sebab itu kritik paling mendasar dalam konteks ini adalah kritik terhadap profesionalitas, independensi dan integritas kehakiman. Bagaimanapun juga, logic keadilan masyarakat itu kemudian menjadi ukuran apakah kemudian itu maksens atau tidak. Misal satu konsen dari partai berkarya ini adalah suatu hal, tetapi produk hukum yang dihasilkan dipandang mengacaukan semua aturan yang sudah ada, baik itu UUD No.7 Tahun 2017 tentang pemilu, PKPU No. 3 Tahun 2022 yang sudah mengatur sedemikian rupa tahapan itu, kemudian dibabat habis ini tentu akan menghasilkan kegaduhan dalam sistem politik demokrasi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H