Lihat ke Halaman Asli

Silvi Wilanda

Karyawan Swasta

Bodhisattva Sebagai Buruh Semua Makhluk

Diperbarui: 1 Mei 2024   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Buruh (Sumber: pexel.com/Ahmedakacha)

Hari buruh sedunia diperingati setiap 1 Mei. Ketika kita menyebut kata ‘buruh’, seringkali otak kita hanya menafsirkannya sebagai pembantu rumah tangga dan pekerja kasar. Padahal, definisi buruh tidaklah terbatas pada hal tersebut. Ketika kita melihat orang berdasi dengan tas koper hitam dan sepatu pantofel, banyak di antara kita yang tidak terbesit sama sekali pemikiran bahwa dia adalah buruh.

 Nyatanya, apa yang kita definisikan sebagai buruh sendiri sering kali hanya bersumber dari apa yang kita lihat dan ini tentu saja salah. Pada artikel ini, kita akan membahas mengenai makna kata ‘buruh’ yang lebih dalam lagi, lebih dari konteks duniawi semata, melainkan konteks spiritual Buddhis. 

Semua orang, selama tidak mempunyai mesin produksi atau modal kapital, bisa dikatakan sebagai buruh. Dengan demikian, para pekerja kantoran bahkan dosen sekali pun juga bisa dikatakan sebagai buruh. Menjadi buruh bukanlah persoalan jenis pekerjaan, tapi kepemilikan modal dan alat produksi.

Dalam kaitannya dengan dunia spiritual, nyatanya satu-satunya kelas buruh yang ada hanyalah para Bodhisattva saja. Hal ini tidak ada kaitan dengan pekerjaan Bodhisattva yang menolong semua makhluk sehingga menjadikan mereka seolah sebagai pekerja yang memang ada untuk membantu makhluk lain. Akan tetapi kenyataan bahwa hanya Bodhisattva lah yang tidak memiliki modal berupa klesha atau alat produksi samsara yang membuat makhluk terus terlahir dan berputar dalam penderitaan.

Sebaliknya, kita sebagai makhluk tak tercerahkan adalah para pemilik modal dan alat produksi yang terus menghasilkan berbagai macam bentuk kelahiran di samsara ini. Kita yang belum tercerahkan ini adalah para kapitalis spiritual yang terus menerus membuat siklus penderitaan berputar dan saling menjerat sesama makhluk dalam siklus yang tak berujung.

Beruntungnya, berkat welas asih yang besar, para Bodhisattva yang seharusnya telah mencapai pencerahan, mereka bersedia menolong semua makhluk dan menunjukkan jalan agar keluar dari siklus penderitaan ini. Mereka berusaha menghancurkan kelas makhluk berklesha dan menjadikan semua makhluk sama rata dalam pencerahan. Mereka berusaha merebut alat produksi samsara dan memurnikannya untuk kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali.

Banyak di antara para Bodhisattva memanifestasikan diri untuk terus membimbing para makhluk. Salah satunya adalah Yang Mulia Dalai Lama XIV. Pemeluk agama Buddha Tibet percaya bahwa Dalai Lama XIV adalah manifestasi dari Bodhisattva welas asih yang sangat termasyhur, yaitu Chenrezig atau Avalokitesvara, atau di Indonesia dikenal dengan nama  Kwan Im. Umat Buddha di berbagai belahan dunia memohon pertolongan dan mengandalkan Bodhisattva Avalokitesvara ketika dalam masa sulit dan menderita. 

Yang Mulia Dalai Lama XIV (Sumber: Wikimedia Commons)

Contoh lainnya adalah Guru Dagpo Rinpoche. Beliau diyakini sebagai manifestasi dari Bodhisattva Taktungu (B. Sanskerta: Sadaprarudita) atau yang artinya Bodhisattva yang Senantiasa Menangis. Dari nama Taktungu ini, kita menyadari begitu besar welas asih Bodhisattva untuk kita. Mereka turut merasakan berbagai macam kesedihan dan penderitaan dari makhluk berklesha. 

Guru Dagpo Rinpoche (Sumber: dagporinpoche.org)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline