Puasa tahun ini sedikit berbeda, tidak ada malas bangun sahur, menonton tivi saat sahur, tidur selepas sahur, bermalas-malasan saat berpuasa, berbuka dengan sekehendak hati, pergi tarawih dengan kawan sebaya, tidak seperti tahun-tahun terakhir.
Puasa tahun ini dibaur dengan kisah baru, rutinitas baru, dan lingkungan baru. Ketika banyak orang yang masih tenggelam tidur sehabis makan sahur, maka sisa dari banyak orang itu telah lebih dulu merajut hari, sambil menunggu matahari timbul dari timur.
Pagi dimulai, untung diperjuangkan, perasaian ditangguhkan. Begitulah orang-orang yang memilih dan terpilih mengabdi di pasar, tidak menjunjung labelisasi sebagai profesi yang dicita-citakan sedari kecil, tidak dikenal dan terkenal, hanya sebatas khalayak kecil yang mempertaruhkan waktu dan menepikan impian yang belum sempat terwujud, maka bertarunglah mereka di pasar. Bertarung dengan waktu dan kesempatan.
Puasa tahun ini terasa berbeda, beberapa pekerjaan beroperasi dalam satu waktu, lintas yang bersamaan, tidak merujuk pada yang lebih prioritas dan mana yang lebih minoritas, tapi lebih kepada cara diri untuk mengoordinasikan diri, berusaha disiplin, dan tidak membuang jam-jam yang berpengaruh besar dalam hidup.
Bagi sebagian orang, pasar adalah tempat tertepat untuk menetralkan energi eskapisme. Namun bagi sebagian lagi pasar tidak lain dan bukan adalah tempat kumuh, lusuh, rusuh dan gaduh.
Tentu tidak bisa dijustifikasikan mana karakter yang pas dan sesuai dengan eksistensi pasar, karena setiap orang punya paradigma sendiri dalam menganalisis suatu objek, menerjemahkannya, hingga menjadi sebuah kesimpulan.
Pasar sebetulnya mengasyikkan, jika kita mampu menilik dari sudut mantik yang berbeda. Sederhana saja, pasar melatih orang-orangnya untuk adaptif, reseptif, dan tidak mencampuradukkan antara ekspektasi dan realitas. Maksudnya dalam lingkup pasar kita akan belajar dan diajarkan cara untuk benar-benar hidup dalam ruang yang konkret. Dipertemukan dengan orang-orang baru setiap hari, menjalin hubungan baik antar personal, maupun sosial.
Di pasar juga banyak para pemimpi yang belum atau bahkan tidak sempat merampungkan mimpinya. Mereka harus menelan keberlakuan takdir, melupakan perlahan mimpi-mimpi itu, seakan tidak pernah ada.
Beberapa orang selain mereka, mungkin terlahir dengan nasib yang sedikit lebih mujur, bisa mengecap rasanya pendidikan tinggi, namun banyak juga yang pernah mengeyam dunia tersebut dan justru memilih pasar sebagai tempat untuk mengamalkan gelarnya.
Tapi banyak hal yang mesti dipelajari dari orang-orang pasar ini, tentang siklus kehidupan juga ragam komponen di dalamnya.
Pasar juga bersifat kompetitif (perlu dan memang esensial akan persaingan) karena melibatkan tuntutan dan kebutuhan. Tidak ada hal yang bersifat impulsif, semua harus berdasarkan realitas.