Lihat ke Halaman Asli

Get Rich Slowly*: Hanya Mie yang Bisa Instan, jadi Kaya Itu Butuh Proses

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*)Judul Get Rich Slowly saya adaptasi dari sebuah website

----------------------------------------------------------------------------------

Diskusi terjadi saat saya mengambil kelas finance di suatu pagi hari yang dingin. Dosen saya membuka pagi dengan gurauan kenapa peserta kelas finance tiap tahun jumlahnya turun. Ada yang menjawab krisis keuangan yang tidak selesai-selesai, ada yang menjawab gaji di sector financial tidak sekinclong dulu.

Di dosen saya punya jawaban sendiri, karena ekspektasi peserta kelas finance di luar jangkauan di dosen. Mahasiswa finance selalu beranggapan bahwa setelah belajar finance bisa menjadi kaya raya karena sanggup melihat masa depan setelah paham teori-teori financial.

Dia pun melajutkan cerita, dia sering didatangi mahasiswanya yang bertanya tentang bagaimana prospek saham A,B,C atau bagaimana kondisi ekonomi di masa depan, atau bagimana nilai tukar terhadap US Dolar di esok hari.

Karena capek, akhirnya dia selalu memulai kelas pertama dengan kalimat  ”if I know the future , I will not stand in front of you to teach. I will not share my formula that  make me rich. Yeah, I will write my secret formula after getting old to get noble price. But remember, after I am getting rich". Kira-kira terjemahan bebasnya "Klo saya tahu masa depan, saya ga akan berdiri di depan kelas buat ngajar. Saya akan simpan rahasia dan akan saya bagi pas saya tua buat dapat hadiah nobel. Tapi ingat baru akan bagi setelah saya kaya"

Jadi apa gunanya belajar finance kalau bukan menjadi kaya dalam sekejap?

Menurut dia, belajar finance berarti belajar untuk memahami context dan jalan peristiwa. Bukan hanya shortcut solusi tetapi juga belajar mengetahui akar masalah. Tahu sebab akibat dan yang paling penting mengambil keputusan secara rasional bukan emosional apalagi serakah.

Jika direnungkan lagi benar juga kata si dosen, bukankah saya juga sering membeli saham hanya karena rumor? Memprotes kenaikan harga BBM subsidi tapi pada saat yang sama mengeluh nilai tukar rupiah yang melemah melulu. Bukankah saya suka membaca bahwa dropout lebih baik daripada sekolahan gara-gara melihat Bill Gates dan Mark Zuckenberg?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline